Friday, February 17, 2012

Telapak kaki

Jaman sudah sangat maju. Segalanya sangat mudah dari membeli sayuran sampai membeli manusia. Semua berjalan dengan sangat cepat ibarat lajunya status dalam facebook. Ibarat loadingnya Core i7 menembus pusaran dunia maya. Semakin sempit dunia ini di huni berbagai kehidupan baik manusia ataupun seiisi dunia lainnya. Butuh waktu pendek menjelajah angkasa raya dengan keyboard di tangan. Sungguh perubahan dehidrasi bumi oleh akal fikir manusia yang semakin ingin menaikkan keinginan dan ambisinya. Setiap hari OL di depan internet menembus hiruk pikuknya nuansa kehidupan. Up to date manusia dalam berlomba mencari kesenangan hidup dan tentunya kesejahteraan hidup. Tertinggal rasanya bila sehari saja tidak mengaktifkan ID kita di internet seolah setahun rasanya.

Jiwa manusia akan semakin kaya dengan keindahan manakala kita bisa berjalan dengan santai dan nyaman dengan langkah kaki kita. Jari kaki kita setiap hari entah berjalan berapa ratus kilometer saja tanpa bisa menyadarinya. Sungguh sangat ironis manakala setiap langkah kita hanya di isi dengan kemunafikan dan keserakahan. Kemunafikan dimana langkah kaki kita jauh dari sifat baik dari dalam hati sanubari yang sesungguhnya. Saling hasat dan hasut, saling menjatuhkan serta iri + dengki. Sangat tragis manakala setiap langkah kaki kita di liputi dengan keserakahan. Keserakahan hidup diri dan kepentingan pribadi tanpa melihat orang lain ataupun rekan dan kerabat. Sehingga jiwanya sudah sangat refleks memainkan kaki menjadi tangan bahkan menjadi mulut dan buah bibir.
Telapak kaki akan bersih manakala di sapu dengan usapan air wudlu dari atas tumit menjalar ke seluruh kaki, segar dan menyenangkan. Akankah setiapkali membasuh kaki, setiap dari diri pribadi akan sadar sampai sejauhmana langkah kaki kita ditapakkan di bumi selama umur di kandung badan. Apakah saat membasuh kaki kita dengan air wudlu kita akan tersadar bahwa kaki kita mempunyai mata namun tidak bisa melihat karena sebenarnya yang menggantikannya adalah mata dan hati kita. Bagaimana apabila saat membasuh kaki kita dengan air wudlu ada kotoran yang tidak bisa lepas dari siraman air wudlu? Semua akan kembali bagaimana kaki yang seharian disembunyikan di balik sepatu-sepatu akan muncul menapak ke tanah dan masjid dengan tenang dan nyaman. Tentunya akan beda dengan para petani dan sejenisnya yang setiap hari dengan telanjang kaki menapak bumi dengan senyuman. Masuk ke masjid dengan tenang walaupun masih ada sisa kotoran di kaki akibat lumpur sawah dan sebagainya. Teman, sahabat dan saudara kita yang jauh tidak bertemu dan meninggalkan jejak kaki tentunya entah kemana sudah jejak kakinya, tersiram air hujan ataupun hilang begitu saja. Mungkin sedikit meninggalkan jejak kaki dalam telapak-telapak yang tidak berbekas. Inilah yang seringkali di lupakan. Dan seterusnya..
Berbagi rasa dan berbagai hati ibarat berjalan dalam terik matahari tapi tidak merasakan panasnya matahari yang menyengat kaki dan telapak kaki. Seolah ada es yang menempel dalam langkah kaki kita.. Semoga.
Wallahua'lam Bishowwab.
by Chie Zhoen

Thursday, February 2, 2012

Bodoh karena Perasaan

Setiap hari perubahan bentuk watak dan perangai manusia selalu berubah-ubah. Perubahan ini disebabkan masukan dari berbagai sumber yang menjadikan pola fikir kita menjadi tidak sama antara saat ini dan ke depannya. Demikian juga hal yang berhubungan dengan sosio komunitas. Teman akan berubah menjadi kurang akrab, keluarga berkurang rasa empatinya. Saudara tidak peduli terhadap saudaranya. Dan berbagai hal yang memunculkan perselisihan yang semakin meruncing tidak henti dan kunjung usai. Baik itu masalah sepele sampai problem yang rumit. Kenapa bisa demikian? Semua karena kita tidak terlalu pintar terhadap perasaan sendiri, kurang pandai dalam menyembunyikan rasa yang kita miliki. Justru rasa inilah yang selalu maju ke depan setiap akan mencari solusi tentang sebuah problem.

Perumpamaan siang akan berganti malam, malampun akan lenyap menjadi pagi dan siang hingga kembali lagi petang dan malam. Apabila tubuh dan jiwa kita normal seperti putaran alam, bukan tidak mungkin kita akan selalu menemukan kebahagiaan yang sejati. Banyak sekali waktu yang terbuang, tenaga yang terkuras dan fikiran yang losses karena berupaya menyelesaikan masalah justru berbalik arah menjadi sebaliknya tambah meruncingkan permasalahan. Sehingga hidup yang indah berganti ibarat dalam bara api neraka layaknya. Sebuah renungan yang tidak bisa dicapai dengan derajat kelimuan seseorang. Walaupan mereka ahli ibadah, ulama, pakar, dosen, guru, pejabat ataupun rakyat jelata, hal terkecil yang tidak bisa di resapi adalah budaya egosentris. Budaya mengedepankan rasa dibandingkan sebuah pola fikir yang konstruktif. Selalu melupakan mencari solusi kebersamaan yang ada adalah saling mencari kebenaran dan menjadi merasa pribadi yang selalu di sakiti. Padahal kalau di cerna kitapun secara tidak sadar sering memakan kata dan sikap sendiri. Berbicara alim, seringkali berbohong dan menggunjing dan memfitnah. Berbicara benar, padahal kita selalu mencari kesalahan orang lain. Berbicara pintar padahal setiap kali kita bodoh dalam bersikap dan menyelesaikan masalah. Dan tak terasa dada kita sesar sendiri dengan keinginan dan perubahan hidup yang kita pernah kita yakini akan kebahagiaannya.
Rasa dan perasaan maju selangkah dengan kemunduran akhlak dan keilmuan beberapa langkah adalah bentuk kontradiktif sebuah kedewasaan manusia dalam menjalani rasa syukur atas semua nikmat yang selalu dirasakan. Kita tidak sadar kalau semakin BODOH dalam bersikap dan bertindak. Bodoh karena perasaan kita yang selalu DIBIARKAN secara suka rela untuk melemaskan urat nadi setiap hari. Segala bentuk problem yang di kedepankan rasa dan selalu itu saja. Akhir kisah kita akan tersadar manakala sudah pada titik kritis, dimana kita sudah kehilangkan kebahagiaan dan saat itu hanya sebuah kata TERLAMBAT. Terlambat kalau kita selalu menyakiti orang yang kita sayangi. Terlambat kalau teman kita sudah menjauh entah dimana. Tersesat saat kita tidak pernah puas hati, resah dan gelisah. Kembalilah kepada jalan hati setiap insan bahwa hidup bukanlah untuk mencari sebuah makna kepuasan, sejujurnya hidup adalah menjadi pribadi yang tentram, menjadi insan yang sabar dan memperoleh hidayah Allah SWT. Kapan lagi kita akan tersadar kalau kekasih kita sudah jauh dari rasa sayang. Bahwa kita sudah sangat jauh menyakiti mereka sehingga duka demi duka selalu menjadi momok yang meninggalkan batas luka. Akhirilah perjalanan emosional anda menjadi tonggak untuk menjadi insan kaffah.
Semoga Allah bersama orang-orang yang tawakal dan selalu sabar akan semua cobaan hidup yang menimpa diri kita.
Wallahu'alam bishowwab.
by Chie Zhoen

 
back to top