Ibarat listrik akan mengalami losses saat jaringan dipancarkan dari gardu induk. Banyak sekali arus yang hilang ditengah perjalanan menuju pengguna atau rumah-rumah. Demikian juga masalah amal dan ibadah kita sehari-hari dari kecil hingga menjelang usia senja. Yang bisa menilainya adalah waktu yang selama ini kita lalui sepanjang hidup ini. Yang teringat dan selalu diingat adalah saat ini memperbanyak pahala dan amal sholeh (katanya). Dengan semangat dan bangga kita menjalani sujud setiap dentingan lonceng pertanda waktu sholat tiba. Dengan keyakinan penuh akan pahala yang melimpah, sementara kita lupa banyak kesalahan yang akan terjadi setelah kita melewatinya. Setelah selesai melakukan ibadah dengan ikhlas dan khusu' mulailah bilangan amaliah kita akan tergores seperti air di gelas yang retak. Dalam hitungan waktu air yang ada di gelas lenyap tinggal gelas bahkan gelas itu jadi kusam ataupun pecah tertabrak kucing.
Makna yang ingin penulis ungkapkan adalah bagaimana nilai ibadah kita yang begitu banyak akan digerogoti oleh gumpalan-gumpalan awan yang akan menurunkan hujan menyapu amal-amal kita ibarat debu terkena air hujan lenyap tak tersisa bersih tinggal tulang belulang kembali penuh nanah. Apa makna tersebut. Makna itu adalah bagaimana amal-amal kita tidak terasa hilang begitu saja tanpa kita sadari manakala kita melakukan kesalahan penggunaan indera kita setiap waktu. Contohnya adalah bibir kita. Bibir kita yang mungil atau yang dower sering kita perlakukan secara kurang nyaman atau asal berbicara. Dengan santainya mengungkapkan aib orang lain, dengan santainya membicarakan keburukan orang lain, dengan sengaja melukai perasaan orang lain, dengan semaunya sendiri membuat hati orang lain terluka. Sehingga singkat cerita doa-doa kita terlempar bersamaan dengan ucapan kita yang penuh makna untuk melukai perasaan orang lain, jadilah sebuah jalan hidup kita selanjutnya. Semua pembicaraan mungkin ada sebab dan akibatnya, namun berbicara yang berlebihan adalah akan memperbanyak sebuah dosa yang semakin melebar. Muncullah sebuah amplas yang akan menggerogoti amal dan ibadah kita bukannya semakin bertambah tetapi lambat dan merayap melenyapkan amal dan bahkan merusak ibadah-ibadah kita kepadaNya. Di sadari ataupun tidak yang ada pasti semua akan lupa akan apa yang telah diperbuat dan apa yang telah diucapkan baik itu kepada saudara, teman, kekasih bahkan tulang rusuk kita, karena umumnya apa yang kita cintai dan sayangi seringkali pertama kali yang kita lukai perasaannya.
Jauh dilubuk hati yang terdalam manusia akan bisa tersenyum saat bisa merasakan kehangatan kebahagiaan, namun yang pasti jelas setiap manusia akan mengalami goyah hati dan egois manakala setiap menangis dan lama berhenti, setelah usai air matanya hatinya akan mengeras membuahkan semangat baru yaitu semangat hidup atau sebaliknya semangat untuk cita-cita yang lain yang akan melahirkan air mata baru ke depannya.
Banyak sekali kita menjadi manusia yang penuh berkah dan nikmat. Diberikan ilmu yang tinggi, diberikan kemulyaan dengan harta, diberikan anak yang pintar dan lucu-lucu mirip dengan kita, diberikan rumah yang mewah dan pekarangan luas dan indah, diberikan kendaraan yang bagus hingga ke WC naik mobil. Itu mungkin gambaran manusia yang bahagia hidup di dunia entah nanti ketika di akherat tergantung amal, amalnya digerogoti tikus atau hama lain itu tergantung cara memperlakukan amal kita yang sudah ditabung, mau ditaruh di kulkas atau di gudang padi.
Bani Israil yaitu kaum yang kaya dengan nikmat, mereka diberikan semua oleh Allah SWT namun apa yang terjadi, seperti ungkapan jawa (wes diwei kepenak eseh njaluk seng angel), mantepno atine seng biasa bae men akeh syukure lan kesembadan seng dadi pangayuhmu", (sudah diberikan kenikmatan yang mudah masih meminta yang lebih dan lebih), mantapkan hati dengan warna sederhana supaya mampu bersyukur dan bisa tercapai semua upayamu.
Semua akan kembali kepada hati nurani, qolb dan akhlak kita yang sudah terbentuk oleh waktu dan aqidah. Semoga akal budi kita selalu dalam koridor iman dan taqwa kepada Allah SWT sehingga mampu berdiam diri dengan bibir yang tetap indah hanya dengan tersenyum menyikapi hidup.
Wallahu'alam Biishowwab.
subhanallah wabihamdihi subhanallah hiladzim
Penulis,
Chie Zhoen
No comments:
Post a Comment