Kisah kasih di sekolah, itulah yang masih tergiang di benak para murid. Baik yang sudah drop out alias mantan siswa ataupun telah almarhum atau melupakan sekolahnya karena sudah jadi Legislatif dan Pejabat. Sekolah adalah media yang sering digaungkan oleh para leluhur yaitu orang tua dan mbahnya orang tua ataupun guru itu sendiri. Sekolah adalah ujung pangkal yang melahirkan berbagai polemik hidup sehingga orang tua ikut terjun menemani anaknya di dalam kelas (anak mama judule). Sekolah adalah biangnya kerusuhan yang menyebabkan anak-anak tawuran tak kunjung usai (tak hanya siswanya gurunya juga ikut bersaing tidak sehat). Sekolah menjadikan egoisme tinggi melawan kemunafikan, ingin tersohor menjadi sekolah favorit semua siswanya jadi juara olimpiade dan sebagainya. Sekolah menjadikan anak-anak yang susah di atur, mau menang sendiri dan susah diajak dialog. Sekolah menjadikan pembodohan nilai, pingin lulus cari bocoran sampai terkencing-kencing akhirnya guru kencing berlari murid mengencingi gurunya. Sekolah menjadi tolak ukur peradaban yang semakin pesat, internet masuk sekolah akhirnya saling nonton bokep bersama.
Itulah gambaran sadis sekolah di jaman sekarang, karena sekolah menghasilkan berbagai kemajemukan masyarakat yang menumbuhkan saling pro kontra antara orang tua, guru dan masyarakat. Buah bibir sekolah telah lama dikenang baik kita maupun generasi yang lampau. Yang sedang sekolah yaitu siswa banyak sekali tidak belajar dari generasi sebelumnya bagaimana mereka bersekolah karena dinilai jaman dahulu semua serba kurang modern. Yang sudah selesai sekolah mereka sibuk dengan pekerjaan sehingga melupakan peran sekolah bahkan ada orang tua yang masih beranggapan kalau sekolah (red) cuma untuk melepas kebodohan istilah jawanya 'nggo mbuang bodo'. Yang menekuni sekolah guru dan penyelenggara sekolah menggenjot siswanya biar berprestasi sementara tingkat kecerdasan mereka terbatas ibarat main game hanya level 9 sudah game over, ya cuma segitu kemampuannya. Yang sedang gethol-getholnya buat gedung dan sarana prasarana sekolah baru, punya mimpi besar menjadikan sekolah batu loncatan seolah mau meloncat ke alam barzah atau surga sekalian. Sebuah ornamen dan wajah sekolah yang haus akan darah korban seperti korban gunung meletus terkena wedus gembel. Apakah itu semua gambaran pendidikan di negeri ini. Semua berujung pangkal dari kodrat bahwa negara ini warisan penjajah, bagaimana penduduknya rentan dengan kedzaliman dan anarki, gampang terprovokasi tergiur dengan mimpi dan janji. Semoga negara ini cepat pulih.
Pendidikan adalah nilai yang mutlak, bagaimana lewat nilai pendidikan manusia akan mengerti akan setiap perubahan pada diri mereka, mengerti akan kapan sadar tentang kehidupan dia dan sekelilingnya. Bila semua paham akan wujud nyata ini mungkin negara dan ekosistem pendidikan sadar betul, tidak hanya keegoisan yang muncul dalam pencapaian pendidikan dalam semua lini. Sudah lama hari lahirnya pendidikan terlewati dan sudah banyak kemajuan yang di capai bangsa ini, namun apakah semangat pendidikan masih teriang dalam benak atau hanya sebagai rutinitas harian dan gengsi pribadi dalam menyekolahkan putra putri kita. Dengan rangking ya selalu dibahas tak kunjung usai seolah mengejek dengan kesengajaan. Dan semua bentuk manifestasi dari hasil pendidikan. Pendidikan akan melahirkan berbagai literatur anak bangsa dengan berbagai konsep perkembangannya. Akan melahirkan pengganti generasi ke generasi ke depan dan mau di bawa kemana negara ini selanjutnya. Semoga lahirnya kontak pendidikan di Indonesia menjadi biang ke arah kemakmuran dan bukan sebaliknya.
Jutaan manusia sudah menjadi pandai dan tidak mau di atur, itupun hasil dari pendidikan selama ini di negara tercinta. Semoga bagaimanapun keadaannya marilah kita terima dengan hati terbuka dan saling bahu membahu menjadi orang baik. Untuk pencitraan pendidikan secara hakiki yaitu pendidikan adalah warna dari wajah kita sendiri.
Wallahu'alam Bishowwab.
Selamat Hardiknas 2014
penulis,
Chie Zhoen
No comments:
Post a Comment