Dalam banyak hal seringkali sebuah birokrasi pendidikan akan saling tumpang tindih kepentingan dengan berbagai tekad untuk sebuah kelangsungan ekosistem dalam institusi pendidikan tersebut. Mencermati akan hal itu banyak pro kontra yang saling berbenturan. Benturan yang akan membawa bagaimana wajah manusia dalam barisan, seperti barisan dalam shof sholat. Selayaknya sebuah sholat bagaimana Imam adalah seorang yang mempunyai karakter lebih dalam keilmuan dan kelayakannya dalam menjadi Imam. Sedangkan Makmum adalah gambaran berbagai ornamen bentuk karakter manusia yang kompleks. Makmum adalah jiwa yang selalu naik turun, bisa jadi saai ini kita dalam barisan shof terdepan, saat yang lain tergeser di barisan belakang jauh dari bisikan sang Imam dalam bacaannya. Setelah selesai sholat betaburan manusia dalam koridornya sendiri-sendiri, yang menjadi pedagang akan kembali dalam aktifitas bergulat dengan ekosistemnya, yang menjadi pelajar kembali dalam bentuk pertarungan kantuk dalam ruang kelas. Dan masih banyak aktifitas yang lainnya dalam bentuk nilai dan falsafah hidupnya masing-masing.
Seperti halnya dalam rumah yang namanya institusi sekolah. Sebuah sekolah yang terbaik adalah sekolah yang mampu memberikan nilai tebal fatwa dalam pribadi peserta didik pada kurun waktu yang panjang. Sebuah sekolah adalah rumah yang menjadikan semua peserta didik bangga telah bisa bersekolah di dalammnya. Sekolah yang maju adalah sekolah yang memberikan pelayanan terbaik dan jujur, bukan hanya slogan dan banner. Sekolah yang Islami adalah sebuah sekolah yang memberikan adab yang kontinue membentuk figur peserta didik seperti aliran air dalam Islam. Sekolah yang sejuk adalah sebuah sekolah yang memberikan penghuni sekolah rasa nyaman dan kondusif walaupun berbagai karakter di dalamnya. Sudahkah nilai ini dipelajari dengan baik dalam kesadaran bersama semua penghuni sekolah? Jawablah dengan kejujuran yang sebenarnya wahai pembuat kebijakan sekolah.
Yang terjadi dalam komunitas sekolah adalah saling mencari aib dan kesalahan setiap penghuni sekolah karena itulah menunjukkan watak sekolah itu sendiri. Bagaimana karakter itu akan hilang dan terjual menjadi sebuah sekolah yang di idam-idamkan semua orang dan tentunya wali murid serta masyarakat sekitar. Jawabnya adalah menjadi pribadi yang berbeda dalam mengasuh peserta didik dalam setiap dekade. Seperti halnya bagaimana kita di asuh oleh orang tua kita sendiri, tentunya keberhasilan orangtua telah mengasuh kita akan menjadi tolak ukurnya, tetapi letak ketidakberhasilan orang tua kita dalam mengasuh beberapa karakter kita apakah akan kita samakan pola asuh tersebut seterusnya kepada anak kita sendiri?Buah yang jatuh dari pohonnya banyak sekali yang menggelinding jauh bahkan menyeberang jalan, seperti halnya mencari seorang pendamping hidup. Kalau mau mencari pendamping hidup bercerminlah pada orang tuanya. Kalau mau memilih 'wanita idaman' lihatlah bagaimana Ibunya, sebaliknya bila mau memilih seorang ksatria sejati sebagai pendamping hidup lihatlah pula orang tuanya yaitu bapaknya. Inilah sebuah filosofi hidup yang sering digaungkan oleh Ulama namun kerapkali susah untuk dilakukan karena hati yang berbicara alias 'Love'.Sekolah akan tumbuh menjadi simpati masyarakat dengan sendirinya apabila dalam mengelolanya penuh dengan kejujuran kepada peserta didik dan orangtuanya. Itu adalah kunci sebuah OUTPUT terbaik pada sebuah institusi sekolah
Marilah jika kita berjuang atas nama sebuah institusi sekolah, letakkan ego masing-masing kembali pada tujuan yang mulia yaitu mendidik. Mendidik untuk menemukan sebuah tolak ukur ilmu bukan tolak ukur LULUS dan KERJA semata.
Manusia hanyalah bisa berusaha sepenuhnya adalah rahasia Allah SWT, semoga kita mampu bersabar dalam ketidakberdayaan kita menjadi manusia yang baik.
Wallahu'alam Bishowwab.
penulis,
Chie Zhoen
pengajar di SMK Muhammadiyah Sampang
No comments:
Post a Comment