Jika kita beranggapan apa yang kita miliki adalah dari usaha dan kerja keras selama memperolehnya adalah sebuah kewajaran dan anugrah. Jika kita beranggapan apa yang kita miliki adalah titipan itulah sebuah anugrah yang lebih besar. Jika kita beranggapan usaha yang membuahkan hasil adalah dari perjuangan kita dengan bantuan orang lain adalah sebuah kedewasaan yang akan membuahkan buah-buah kenikmatan yang tak lekang di makan usia. Siapakah orangnya yang mau menilai itu dengan bijaksana? Jawabnya adalah BANYAK orang bisa berbicara namun sedikit orang yang mampu menyesuaikannya dalam tingkah dan laku hidupnya sepanjang hayatnya. Apa yang kita fikirkan dan semua yang sudah menjadi milik dan hak kita dalam hidup dengan segala kemewahannya sudahkah menjadikan hati ini tentram dan damai. Semua adalah nilai yang sangat mahal apabila nasi sudah menjadi bubur. Dan tinggallah kita memakan bubur dengan kesabaran. Namun yang terjadi adalah bukannya bubur yang di makan tapi saling menyalahkan dan mengorek isi perut kenapa nasi dibiarkan jadi bubur dan seterusnya.
Siapakah yang akan mampu mencoba menjawab isi dari pengertian di atas. Bertanyalah pada pribadi masing-masing. Sudah jujurkah kita pada diri sendiri selama ini. Jujur yang bagaimana tentunya. Apakah omongan sudah sesuai dengan sikap kita, apakah bibir sudah sejalan dengan gigi kita ataukah tersenyum lebar tidak mau menyembunyikan gigi kita. Apakah minum sendiri di tengah saudara kita yang kehausan. Ataukah tidak pernah merasakan hidup susah. Apakah selalu berjalan di jalan lurus dan mulus tidak pernah menempuh hiruk pikuknya jalan penuh kemacetan, bau asap kendaraan, terik matahari yang menyengat, tidur di pinggir jalan dan semua hal yang berbau tidak sedap. Jikalau sudah dijalani itu semua, apakah jelas akan menjadi pribadi yang siap dan sadar setelah lepas dari itu semua dan duduk di kursi yang empuk. Ataukah sengaja lupa semakin terlelap tertidur tanpa merasakan lagi atau cuek tentang sekelilingnya. Suka duka hidup sudah lenyap dalam pandangan, yang ada adalah kenyangnya perut dan nyamannya tertelap dalam mimpi.
Kirim suratlah anda sekalian kepada Allah, bertanyalah untuk apa engkau sekalian dihidupkan dalam suasana yang berbeda-beda. Sampai kapankah kalian semua akan terjaga di dunia. Akankah bisa hidup kekal abadi di dunia dengan nyaman, tentram penuh kenikmatan tanpa sebuah kematian. Bertanyalah kepada Allah kapan anda sukses, punya jabatan, di hormati banyak orang, bisa beli apapun yang terfikir. Suratilah Allah kemana lagi akan melangkah demi anak dan istri. Apakah akan selalu begini perjalanan hidup kita ataukah akan mengalami perubahan demi kemajuan. Tanya kepada Allah bagaimana jatah hidup kita di dunia apakah bisa diperpanjang ataukah bisa di tawar.
Jika anda berkirim surat pastilah berharap surat itu jatuh ke tangan orang yang di tuju dan memperoleh respon bahkan balasan yang menggembirakan. Namun apabila surat tersebut nyasar bukan ke alamat yang di tuju dan bahkan tersesat bukan ke alamat dan orangnya sungguh akan selalu tergiang-giang, tidur resah makanpun kurang enak.Kapankah hati ini menemukan kata-kata yang tepat untuk mengirim surat kepada Allah. Saat hati ini tidak diliputi dengan kegalauan yaitu tentramnya hati tanpa pamrih selain beribadah kepada Allah SWT. Tanpa embel-embel jabatan, kekayaan, gengsi, kemasyhuran, kenikmatan. Hanya beralaskan tikar di atas permadani rumput yang tebal dan halus.
Jikalau itu semua ada, tentunya siapa yang bisa melupakan permusuhan. Bisa menerima kawan maupun kawan tanpa sebuah kebencian. Sungguh pekerjaan hati yang tidak akan pernah kunjung usai apabila tidak selalu direnovasi setiap saat rasa senang, suka dan sayang kepada kebencian kita semua.
Wallahu'alam bishowwab
by Chie Zhoen
No comments:
Post a Comment