Perjalanan sebuah kemerdekaan seseorang mengalami pasang dan surutnya peradaban. Ada saat penuh dengan hujatan, fitnah dan semuanya yang berbau pelecehan. Ada saat dimana curahan rasa dan humor (curanmor) dijadikan senjata untuk menjatuhkan. Ada saat pengabdian dibalas dengan colekan tahi kerbau di muka. Ada saat kesalahan dijadikan senjata untuk memberantas kelemahan, sehingga tidak dapat berkutik akhirnya hancur. Dan banyak cara untuk memperebutkan sebungkus nasi untuk meneruskan hidup. Sungguh alangkah munafiknya manusia sehingga bagaimanakah keseharian kita dengan ibadah yang dilakukan?. Apabila semua itu dilakukan dengan sadar dan angkuh. Jawabnya adalah hati orang siapa tahu. Dan semuanya adalah adanya bisikan “receh” untuk membungkam orang lain. Mengangkat diri menjadi manusia yang mampu dibanding orang lain.
Banyak sudah hal tersebut bermunculan dalam sebuah kehidupan berbangsa dan bernegara. Seperti halnya butiran pasir di laut. Akan lari kesana dan kemari disapu terjangan ombak yang tak kunjung reda, sepanjang detik. Budaya-budaya menghasut, budaya menghina, budaya mencibir, budaya mengejek, budaya menghardik, budaya memfitnah, budaya mengkambinghitamkan, budaya memprovokasi, budaya manipulasi. Memang sudah ada sejak zaman ini diciptakan adanya hal tersebut. Namun dengan seiring semakin mudahnya manusia mendapatkan apa yang diinginkannya dengan fuluz, lupalah semuanya. Lupa saudara, lupa teman, lupa rekan kerja, lupa kekuasaan dan lupa berbagi dengan orang lain. “Sehingga yang lebih fatal dilihat dari sudut pandang agama adalah lupa menjadi seorang pemimpin yang siap mempertanggungjawabkan kepemimpinannya kelak di akherat.”
Sadar ataupun tidak banyak manusia yang merasa bertanggungjawab namun pengecut dalam mengambil keputusan. Karena antara kebaikan dan dosa telah semakin jauh bagaikan langit ketujuh dan bumi. Apalagi hati sudah dirasuki sebuah rasa tidak suka terhadap sesama. Dibisikkan oleh syetan lewat tangan dan bibir manusia bermuka dua sebuah kesalahan demi kesalahan setiap ujung dan sisi tubuh manusia yang tidak disuka. Sehingga yang nampak adalah jasad manusia yang penuh dosa dan noda. Berada dipupuk mata dan ingin rasanya secepatnya dimusnahkan. Dan bertambah lagi setiap hari. Sehingga pintu hati kita tertutup dengan rasa itu.
Kualitas manusia yang punya nafas, adalah manusia yang bisa menempatkan sarana kemudahan menjadi kesederhanaan semuanya. Kesederhanaan akhlak, kesederhanaan akal budi, kesederhanaan hati. Banyak manusia salah tafsir. Dengan kualitas manusia dalam kelebihannya dengan materi, kelebihannya dengan pangkat/gelar, kelebihannya dengan kekuasaan, mudahlah ditipu oleh akal cerdiknya pembuat keonaran yaitu syetan. Namun alangkah naifnya kalau kita mengkambinghitamkan syetan, padahal pola fikir kita yang kurang manusiawi.
Banyak nasehat yang lupa akan nasehat yang sebenarnya secara hakekat. Contohnya ada istilah “andap asor ngungulake tiyang”. Dengan pengertian yang baek dari istilah tersebut mengandung arti perilaku manusia yang sederhana atau menghargai orang lain dan mengangkat derajat orang lain. Nasehat tersebut dijadikan senjata untuk memperlakukan orang lain dengan sebelah mata. Tidak memandang manusia dengan kebaikannya tetapi melihat manusia dari sisi dosa dan kejelekannya. Sehingga akan berlanjut dengan ucapan “tidak akan sukses seseorang bila lepas dari itu dan mengandalkan ego dan kemarahan”.
Dengan istilah di atas apakah pantas sebagai manusia kita lepas dari sebuah kata musyawarah untuk pendekatan kebenaran? bukannya vonis yang memabukkan lidah?.. Telaah secara psikologis pendidikan bahwa setiap manusia yang memberikan ekspresi baik ucapan dan perbuatan ke orang lain adalah mempunyai maksud dan tujuan atau lebih riilnya lagi pandanglah manusia sebagai pribadi yang merdeka. Sehingga setelah ada ucapan dan perbuatan manusia terhadap orang lain yang menghasilkan sebuah hasil dalam bentuk kesalahan ataupun kebenaran bisa disimpulkan secara benar. Apakah manusia tersebut beriktikad baik ataupun sebaliknya. Sehingga walaupun seseorang berkata dan berperilaku yang salah tetapi mempunyai tujuan yang benar. Akan tetap mempunyai nilai yang benar pada diri orang tersebut. Bukannya ucapan yang lemah lembut penuh dengan sanjungan dan kemunafikkan yang selalu menjadi kata “benar” dibanding istilah suka atau tidak.
Intinya walaupun seseorang terlihat keras dalam ucapan dan perbuatan namun secara jelas akan terlihat iktikad yang sesungguhnya ada pada dirinya. Inilah yang membedakan antara “orang yang mengerti daripada orang yang pintar atau istilahnya luwih becik dadi wong ngerti tinimbang dadi wong pinter”. Akhirnya setiap ada input dari manusia membicarakan manusia yang lainnya akan ditanggapi dengan tenang dan tidak akan terpengaruh sebelum mencari kebenarannya. Apa yang saya sampaikan adalah sulit bila manusia dari awal sudah mengatakan baik lesan amaupun hatinya “tidak suka” terhadap orang lain.
Nabi mengajarkan pada manusia untuk menjaga tali silaturahmi agar kita tetap kuat. Namun kita sendirilah yang melupakan arti makna silaturahmi yang bagaimana harusnya dilakukan. Yaitu silaturahmi yang menempatkan manusia sebagai orang yang baik. Bukan menempatkan manusia yang penuh dengan dosa seolah kita “suci” dari noda dan dosa.
Saudara sebangsa dan setanah air. Kapan kita akan memberikan kesempatan kepada orang lain untuk berbuat baik sementara kita menjatuhkan seseorang untuk menjadi pribadi yang dilecehkan sesama. Kapankah kita memandang orang lain tanpa sebelah mata, karena orang lain lebih miskin, lebih rendah martabatnya, hanya bawahan. Mau dibawa kemana ekosistem manusia dalam institusi yang sebenarnya yang akan dimunculkan bersama. Bila kita saling berebut kepentingan di atas kesalahan orang lain??. Akan sampai kapan luka demi luka tercecer penuh dengan kubangan darah dari manusia-manusia yang “dibuang” dari harga dirinya di depan orang lain. Dibuang dari institusi, dibuang seperti sampah penuh lumpur dosa. “Manusia yang terbaik adalah manusia yang selalu sadar akan kotoran yang ada dibalik punggungnya dan sadar bahwa kita diberi kesempatan olehNya kalau aib-aib kita masih ditutupi dengan rapi untuk kebaikan kita.”
Saya menyampaikan ini adalah memberikan ekspresi ketidakberdayaan terhadap kompleknya kesalahan manusia yang terbentur oleh institusi, rekan kerja, saudara dan familiar. Dengan berbagai contoh polemik tentang kehidupan masyarakat kita yang hampir penuh dengan nepotisme di segala bidang. “Marilah menjadi pribadi yang mampu memberikan apa yang patut kita berikan ke orang lain bukannya apa yang sudah kita terima dari orang lain.” Sehingga kita mampu menilai secara arif, wajah manusia siapa yang sama antara hati dan ucapannya. Sehingga setiap ada kesalahan insan sudah bisa memprediksi benar dan tidaknya sebelum dimasuki tambahan kesalahan oleh orang lain yang tidak suka.
Akhirnya marilah tersadar untuk melihat orang lain tidak dalam bentuk fisik, namun lihatlah manusia sesuai porsi dan kemampuan serta pola fikir serta hatinya. Sehingga kita akan mengedepankan administrasi institusi secara benar dan teratur. Bukan otoriter yang menjadi tolak ukur berjalannya sebuah kebijakkan di institusi. Apalagi yang namanya institusi pendidikan yang melahirkan peserta didik dan pendidik yang baik. Alangkah naifnya bila kita selalu mengedepankan suka dan tidak suka bukannya dari hati ke hati dan akar permasalahan yang ditimbulkan dari sebuah masalah.
Wallahu’alam. Astaghfirullahal adzim. Berilah ketabahan bagi orang-orang yang mencoba memberikan yang terbaik bagi orang lain. Namun di buang ibarat sampah berserakan. Laahaula walla quwwata illa billahil ‘liyyil ‘adzim. Berilah awal kebaikan dan keberuntungan dunia akherat bagi orang-orang yang terdholimi oleh institusi yang mencoba merubah sistem. Amien..
Terima kasih.
Penulis,
Muhshonu Rohman, ST
ghostnaruto@gmail.com
No comments:
Post a Comment