Dalam sebuah pemikiran Wali yang dikemas dalam kisah masyarakat Hindu di India bahwa kehidupan manusia adalah terletak dari sebuah keadaan saat ini, yang akan memunculkan keadaan mendatang yang berkelanjutan. Dalam hidup manusia tidak akan lepas dari sebuah hal tentang karma seseorang. Dimana dalam pemikiran masyarakat Islam bahwa nilai kebaikan akan berujung sebuah kebaikan kembali sebagai ganjarannya. Adanya surga karena saat hidup di dunia mencarinya dengan baik. Setiap yang melahirkan kejahatan akan bersumber menjadi bencana pada masa mendatang. Dunia pewayangan dalam tanah jawa adalah lambang dari etnis yang mengejawatahkan budaya sebagai warna dari jati diri, semangat dan etika bangsa. Bahwa dimunculkannya wayang memberikan gambaran laju kehidupan manusia dalam tahapan menuju kesempuraan diri. Wayang diartikan sebagai bayangan yang merupakan pencerminan sifat-sifat yang ada dalam jiwa manusia, seperti angkara murka, kebajikan, serakah dan lain-lain. Dalam permainannya wayang diolah oleh Dalang yang mengandung maksud untuk ngudal piwulang dan dibantu oleh beberapa orang penabuh gamelan dan beberapa waranggana atau sinden sebagai vokalisnya.
Selanjutnya dikisahkan bahwa perang Barathayuda adalah sebuah bentuk dari istilah yang memberikan pengertian kepada manusia bahwa perang antara kebathilan dan kebaikan. Sebuah warna dari jiwa kita yang selalu ingin menjadi yang terbaik dengan melepaskan ambisi semuanya. Bahwa inti utama permasalahan dalam perang tersebut adalah hak hidup atas semua makhluk di jagat atau marcopodho. Perang yang mengisahkan pertikaian yang berlanjut ke pertumpahan darah antara anak keturunan Baratha (Drestarastra dan Pandu). Kehidupan anak-anak mereka diwarnai sebuah pertikaian yang menunjukkan watak dari orang tuanya. Watak dari orangtuanya inilah yang tidak sebagian orang memahami akan sebuah pemikiran kebenaran dan keadilan. Sebenarnya keadaan adalah bagaimana watak saudara ini berujung pada pertikaian anak-anak mereka. Bahwa kekuasaan, kemulyaan dan kelanggengan akan berujung kehancuran yang diciptakan oleh darah daging mereka sendiri sebagai cobaannya. Anak akan melahirkan watak orang tuanya dan orang tua akan menanamkan kebencian yang berujuang pada kepribadian sang anak.
Arjuna adalah anak Dewi Kunthi dengan Pandu Dewanata yang merupakan anak ketiga dari 5 bersaudara. Dikatakan pandawa karena anak lima berujud lelaki semua. Arjuna merupakan lakon hidup dari tokoh yang ada dalam cerita Barathayuda, tokoh karismatik yang sering disebut sebagai lelananging jagad seperti kisah Nabi Yusuf. Dia kstaria yang sering dilambangkan sebagai warna lakon dewa. Seorang anak pilihan para dewa yang dicanangkan sebagai pemberantas keangkara murkaan. Anak pertama Pandu adalah Puntadewa atau Yudhistira dia seorang yang lemah lembut, dia kepanjang antara sederhanaan yang keabdian. Dia memiliki jimat/kesaktian bahwa di atas kepalanya terdapat jimat kalimodo. Dalam istilah wali menamakan pemahamannya sebagai kalimat yang terukir dalam kepala yaitu tulisan "dua kalimat syahadat". Sehingga dalam kisah versi lain dia tidak bisa mati karena hal tersebut sehingga dia ke tanah jawa untuk memedarkan hal tersebut. Bertemulah dia dengan seorang wali dan akhirnya dejelaskannya maksud arti kalimat tersebut, dan akhirnya dia meninggal.
Anak kedua dari Pandu adalah Werkudara atau Bima, dia merupakan gambaran manusia yang mempunyai watak tegas, pemberani, kuat, ksatria dan jujur. Dalam sebuah kisah saat Bima bertemu dengan Dewa Ruci dia mencoba mempelajari sejatining jagad yang diciptakan sang maha kuasa. Disanalah digambarkan bahwa manusia menemukan Tuhannya untuk kesempurnaan hidupnya. Bahwa lahir dan matinya manusia mengalami sebuah warna dalam wujudnya. Dia akan bertemu dengan Tuhannya saat dia menjalani hidup dengan semestinya. Bahwa hidup di dunia hanya sekedar melihat dan menyaksikan kekuasaan Maha Kuasa dan sekedar memberikan kesempatan untuk menjalani takdirnya. Begitu berat perjalanan manusia sehingga banyak manusia yang melupakan Tuhannya dan melupakan orang lain di sekelilingnya. Dengan seenaknya sendiri manusia membantai saudara, teman dan kerabatnya seolah mereka mau hidup sepanjang umur bumi. Di sinilah watak sesungguhnya seorang manusia apabila Tuhan memberikan keberkahan hidup di dunia.
Yang terakhir adalah Nakula dan Sadewa sepasang anak kembar yang memiliki sifat sederhana dan setia kepada saudaranya. Kemanapun saudaranya membawanya dia akan ikut bersama. Sepasang anak inilah sebagai gambaran kebaikan seorang anak kepada orang tua bahwa walaupun anak terakhir mereka selalu patuh akan perintah Ibunya.
Dia melawan hatinya sendiri untuk menemukan antara kebaikan dan kebijaksanaan. Sehingga hal yang harus dilanjutkan bahwa dia tidak bisa berbuat banyak ibarat dia mencabut duri dalam daging. Dicabut sakit tidak dicabut adalah sebuah penyakit yang terus menggerogoti.
Akhir kisah panah Arjuna menembus dada saudaranya sendiri Karna. Dengan uraian airmata, ibu Kunthi memeluk anaknya. Dia menangisi kenapa harus terjadi pertikaian yang memaksa hidup harus menemui karmanya. Bahwa karma tidak akan pernah berhenti selama dunia ini belum berakhir dan selama jasad manusia masih bernyawa.
Inilah kisah sepanjang jaman yang melahirkan amanah bagi pemirsa wayang bahwa hidup tidak akan selamanya menjadi orang yang baik dan bijaksana. Bahwa hidup adalah pilihan yang berat terhadap diri dan saudara sesama muslim. Bahwa di antara nilai kebaikan yang sesungguhnya adalah pahit getirnya hidup orang lain tidak bisa merasakan. Namun sudah menjadi garis hidup bahwa manusia tidak boleh melupakan sejarah hidupnya. Siapa yang telah memberi rizki dan atas perantaraan siapa kita hidup di dunia. Sehingga sudah sepantasnya kita menjadi pribadi yang alim. Mengayomi dan menjadi manusia yang mulia, memberi pengayoman terhadap sesama makhluk yang lemah. Allah menunjukkan jalan kepada hambaNya melalui warna yang berbeda dalam hidup, supaya mampu menilai di atas langit masih ada langit dan manusia tempatnya salah dan khilaf.
Yang terakhir adalah Nakula dan Sadewa sepasang anak kembar yang memiliki sifat sederhana dan setia kepada saudaranya. Kemanapun saudaranya membawanya dia akan ikut bersama. Sepasang anak inilah sebagai gambaran kebaikan seorang anak kepada orang tua bahwa walaupun anak terakhir mereka selalu patuh akan perintah Ibunya.
Memasuki peperangan antara Arjuna dan saudaranya, Arjuna sangat gelisah dikarenakan musuh yang di hadapi masih saudara sendiri bahkan di antara musuh yang harus di hadapi adalah para sesepuh yang sangat di hormati gurunya sendiri mapun Resi Bhisma. Dalam ajaran perangnya Sri Kresna mengajarkan bahwa nilai hidup bukanlah dilihat dari sisi mana antara saudara dan watak manusia, bagaimana hidup adalah pilihan untuk menjadikan sebuah tatanan akan lestari dan berkesinambungan. Haruslah saudara memanah saudaranya sendiri?.Berfikir keras Arjuna saat itu perang antara hati dan kebaikan, perang antara wajah dan ambisi. Inilah warna yang dilupakan dalang bahwa sifat musuh Arjuna yang satu ini adalah bukan seorang yang mempunyai watak sebaliknya, tapi dalam babatnya ini adalah perang antara Arjuna dengan dirinya sendiri dalam wujud Arjuna Kembar.
Dia melawan hatinya sendiri untuk menemukan antara kebaikan dan kebijaksanaan. Sehingga hal yang harus dilanjutkan bahwa dia tidak bisa berbuat banyak ibarat dia mencabut duri dalam daging. Dicabut sakit tidak dicabut adalah sebuah penyakit yang terus menggerogoti.
Arti sebenarnya adalah peperangan pada diri Arjuna dalam mengatasi dirinya antara perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk. Adalah peperangan yang tiada pernah berhenti setiap saat selama hidup dari seseorang sebagai individu yang mencari nilai luhur dan melaksanakan dalam tindakan nyata sehari-hari melawan pengaruh buruk yang bersifat kesenangan yang merusak diri dan lingkungannya.Inilah wujud sejati dalam kehidupan Arjuna di asuh oleh para punakawan, yang diwujudkan oleh wajah sederhana dalam guyonan-guyonannya. Punakawan ini mengingatkan apabila Arjuna adalah manusia biasa yang tidak pernah lepas dari dosa. Saat sebelum perang melawan saudaranya, Semar mengingatkan kepada Arjuna bahwa dia akan melawan dirinya sendiri dalam peperangan, seorang kstaria yaitu Karna yang setia kepada tanah airnya dan dia berjuang demi untuk menjaga nama baik semuanya, dia mengorbankan dirinya untuk membela yang terbaik dalam nilai kstariaannya. Dialah lambang jiwa Arjuna yang mencoba memberi peringatan bahwa manusia hidup tidak lepas dari dosa dan kesalahan. Dan Semar juga mengingatkan kalau suatu saat Arjuna akan mengalami karmanya walaupun dia telah menghancurkan keangkara murkaan dalam koridor perang Barathtayuda.
Akhir kisah panah Arjuna menembus dada saudaranya sendiri Karna. Dengan uraian airmata, ibu Kunthi memeluk anaknya. Dia menangisi kenapa harus terjadi pertikaian yang memaksa hidup harus menemui karmanya. Bahwa karma tidak akan pernah berhenti selama dunia ini belum berakhir dan selama jasad manusia masih bernyawa.
Inilah kisah sepanjang jaman yang melahirkan amanah bagi pemirsa wayang bahwa hidup tidak akan selamanya menjadi orang yang baik dan bijaksana. Bahwa hidup adalah pilihan yang berat terhadap diri dan saudara sesama muslim. Bahwa di antara nilai kebaikan yang sesungguhnya adalah pahit getirnya hidup orang lain tidak bisa merasakan. Namun sudah menjadi garis hidup bahwa manusia tidak boleh melupakan sejarah hidupnya. Siapa yang telah memberi rizki dan atas perantaraan siapa kita hidup di dunia. Sehingga sudah sepantasnya kita menjadi pribadi yang alim. Mengayomi dan menjadi manusia yang mulia, memberi pengayoman terhadap sesama makhluk yang lemah. Allah menunjukkan jalan kepada hambaNya melalui warna yang berbeda dalam hidup, supaya mampu menilai di atas langit masih ada langit dan manusia tempatnya salah dan khilaf.
Wallahua a'lam bish showab
Crowja Garichu
ghostnaruto@gmail.com
No comments:
Post a Comment