Latar belakang lahirnya makna pendidikan nasional tidaklah ada apabila kita tidak berusaha merdeka. Semua akan merasakan nikmat apabila kita sudah menjadi diri sendiri. Seperti halnya kini, sudah lama merdeka dengan warisan hukum Belanda yang menjadi buah bibir semua perdebatan hukum di Indonesia. Landasan kita tidak pernah sepaham dengan kepribadian kita, karena begitu lama kita dijajah dengan banyaknya upeti menyengsarakan rakyat, apabila itu semua menjadi bumerang masyarakat untuk taat pajak?. Inilah wajah Indonesia abad ini, wajah yang tidak pernah menyentuh kepribadiannya sendiri dan menjadi diri sendiri sekian lama. Kemana hasil karya pejuang bangsa, para pahlawan bangsa yang begitu keras mempertahankan Indonesia untuk bebas terjajah. Kurun waktu abad ini kita semua disibukkan dengan iklim meniadakan musyawarah untuk mencapai mufakat. Yang terjadi dari mulai anak TK sampai Perguruan Tinggi hiruk pikuk untuk orasi. Dari petani sampai pejabat menanamkan nilai keserakahan. Dari orang biasa sampai ulama secara tidak langsung menumbuhkan budaya hedonis. Kemewahan dan kemegahan ada dimana-mana seolah tidak mau tertinggal dari budaya barat.
Sekian lama menanamkan keilmuan terhadap peserta didik yang ada adalah nilai yang akan luntur saat anak didik kita lepas dari bangku sekolah atau perkuliahan. Budaya ini sudah mendarah daging sekian lama apalagi setelah lepas dari kurun waktu era 80-an. Memasuki tahun demi tahun masyarakat mulai sibuk dengan kemakmuran. Kerja yang semakin mapan, lapangan kerja yang merangkak dicukupi pemerintah dan kemewahan yang diperoleh dari luar negeri (TKI). Sepak terjang nilai pendidikan berubah menjadi nilai kemewahan. Istilah orang jawa, "Sekolah iku kanggo mbuang bodho". Begitu semaraknya aktribut yang mengesampingkan budaya menghargai orang lain atau orang yang lebih tua. Dengan enaknya mengesampingkan unggah-ungguh. Ini nampak dari bukti di segala lapisan masyarakat di manapun di bumi Indonesia. Sekilas contoh anak-anak kita, belum mencapai titel "LULUS", sudah terjun ke jalan membangunkan bayi-bayi yang sedang tidur. Dengan arak-arakan sepeda motor yang suara knalpotnya seperti bom pecah. Gerang-gerung membuat jalan resah, pengguna jalan terganggu, masyarakat resah. Tidak siang ataupun malam ini terjadi. Belum lagi ada moment sepak bola, sama halnya itu semua akan sering dilakukan. Sungguh ironis menyaksikan tidak adanya nilai kedewasaan yang telah dihasilkan dari bangku sekolah. Ini salah siapa dan dosa siapa??. Sementara hal ini belum di ambil tindakan konkrit oleh aparat kepolisian dengan ikut turun ke jalan memeranginya. Sungguh pembelajaran yang tidak perlu ada di Indonesia.
Hiasan yang perlu direnungkan ulang adalah gebyar masyarakat yang menamakan dirinya wakil rakyat. Memang benar mereka adalah seorang pemikir bangsa yang dihasilkan dari genting sekolah. Namun kalau dicermati dengan akal sehat, bahwa mereka duduk menjadi wakil rakyat jelas akan memperjuangkan hati nurani rakyat secara maksimal. Dengan pola pemikiran mereka untuk mengurusi semua urusan bangsa, memang sudah selayaknya mendapatkan sebuah kemewahan dan faslitas yang memadai. Dan harus menjadi tanggungjawab bangsa dan negara. Terlebih dari itu hendaklah aspirasi semua lapisan masyarakat baik yang punyai uang maupun yang tangan kosong masuk ke jajaran wakil rakyat. Dari pengajar biasa sampai Dirjen pendidikan haruslah disamakan dalam koridor kebijakkan sistem pendidikan. Semua akan senilai dengan argumen saya, manakala bukti ada di depan mata. Sangatlah sulit mewujudkan itu karena wujud nyata dari kebijakkan adalah bukti nyata dalam semua keadaan.
Semua masyarakat yang terjun dalam dunia pendidikan di Indonesia memang sudah menyadari bahwa pemerintah sudah mengarahkan dananya pada sektor pendidikan mendekati anggaran yang ditetapkan. Dalam kurun waktu terakhir ini sudah banyak dana yang digulirkan oleh pemerintah untuk semua sekolah di seluruh Indonesia tanpa terkecuali. Cair dan mencair saling berbagi dana, ini sudah menjadi buah bibir yang lama dan menjadi wahana mewujudkan aspirasi pendidikan walaupun masih terlihat bagi tugas dan bagi pendapatan sehingga menjadi lumrah selama dalam koridor saling menguntungkan.
Yang perlu lagi diserap dan dicermati adalah waktu luang kita dalam mendidik anak bangsa. Semua sudah merasakan nikmatnya di manja dengan Gaji dan kemewahan fasilitas dalam setiap bulan bahkan sampai mati sudah di jamin hidupnya oleh pemerintah (PNS). Sudah menerima upah minimum atau upah kelayakan pengajar (Swasta). Mendapatkan BOMM dan sejenisnya bagi siswa di Indonesia dan bantuan pengembangan fasilitas sekolah dari RKB, RPS dan fasilitas penunjang lainnya. Ini sebuah terobosan yang mulai indah di depan mata. Namun sangat susah untuk diwujudkan dalam sebuah kenyataan dalam setiap orang yang memperjuangkannya. Siapa yang berjuang untuk pemerintah. Siapa yang berjuang untuk yayasan dan sebagainya adalah sebuah nilai perjuang pendidikan yang tak pernah putus dikenang sepanjang sejarah. Inilah keadaan yang tidak pernah dihargai dan dijunjung tinggi.
Sadar atau tidak siapakah yang telah merobohkan makna pendidikan dalam arti yang sesungguhnya. Inikah wajah masyarakat, wajah pendidik, wajah peserta didik. Inikah bentuk dari penanaman nilai kebersamaan dalam sebuah ruang kelas atau pembelajaran. Jangan pernah membawa sebuah pemikiran keuntungan dalam mendidik peserta didik, namun lengkapi kesejahteraan pendidik dengan iktikad baik yang menjadi contoh kemakmuran sistem. Berikan bukti nyata kesejahteraan bagi pendidik sesuai dengan bidang kerjanya bagi penguasa, yayasan ataupun pemerintah.
Mungkin inilah yang akan menjadikan diri sendiri sebagai wujud semuanya bukanlah copy paste dari sesuai yang menjadi duri dalam daging. Bahwa nilai pendidikan bukanlah sekedar warna dari pendidik yang mempunyai kualitas pedagogis, kognitif, personaliti dan sosial saja yang dibutuhkan namun nilai nurani yang membuat kebersamaan dalam sistem akan terwujud. Hal inilah yang menyebabkan ekosistem di bangku sekolah antara sistem dan penguni sekolah akan terwujud menjadi sebuah pembelajaran yang sesungguhnya. Menjadi sebuah bangunan gedung yang megah yang berisikan komunitas yang membeli sebuah nilai pendidikan sejalan dengan maknanya bukan kiasan dan seolah menarik keuntungan dengan sebesar-besarnya kepentingan. Jadilah gedung yang mempunyai nurani untuk kesejahteraan yang mendidik semua.
Mendidik akhlak dan menjadikan diri kita sebagai figur yang terbaik. Bukan hanya omong kosong dan kepentingan perut saja. Nyatanya memang sulit bagi kondisi sekolah yang ingin mengembangkan kesuksesan melupakan nilai pola asuh yang sebenarnya, dalam arti menanamkan nilai kesamaan dalam berbagai kebijakkan. Kebijakkan dalam sekolah swasta adalah sebuah kebijakkan yang fleksibel selama dalam koridor tidak merugikan lembaga. Kebijakkan dalam sekolah negeri adalah menempatkan peserta didik dalam koridor pola asuh yang berbeda. Sebuah gambaran yang lebih nikmat di banding sekolah swasta.
Mendidik akhlak dan menjadikan diri kita sebagai figur yang terbaik. Bukan hanya omong kosong dan kepentingan perut saja. Nyatanya memang sulit bagi kondisi sekolah yang ingin mengembangkan kesuksesan melupakan nilai pola asuh yang sebenarnya, dalam arti menanamkan nilai kesamaan dalam berbagai kebijakkan. Kebijakkan dalam sekolah swasta adalah sebuah kebijakkan yang fleksibel selama dalam koridor tidak merugikan lembaga. Kebijakkan dalam sekolah negeri adalah menempatkan peserta didik dalam koridor pola asuh yang berbeda. Sebuah gambaran yang lebih nikmat di banding sekolah swasta.
penulis :
Crowja Garichu
No comments:
Post a Comment