Saturday, January 18, 2014

Rembulan dalam Dawai Air Mata

Semakin penat langkah kaki, jauh sudah melangkah tak kujung usai dan sampai pada akhir tujuan. Bergerak terseok hingga telapak kaki merekah menganga terluka tersayat terkena hentakkan kaki, duri dan panasnya matahari. Ujung jalan sana terlihat nanar dan menyempit, seolah ikut menjauh berlari terkejar lari sampai mengilang raib. Sungguh jiwa yang mulai rapuh akan sebuah masa. Masa yang semakin berjalan menjauh meninggalkan lamunan demi lamunan. Harapan demi kata-kata indah, kenyataan demi semangat cinta dan gairah hidup. Senyum dalam gelora hati yang menyala. Hilang terkikis sunyi yang mencekam, terseok lagi merapat  terdiam. Muram dan kacau, galau dan resah, nanar dan kusut, remuk dan parau. Bibir telah kering hati telah terpejam, entah kapan akan terkuak ke permukaan menjadi asa yang lain.

Jika hati manusia telah membatu, ibarat sebuah jurang yang terjal akan melebar gugur membuka jurang yang lain meluas untuk memakan wilayah daratan. Itulah gambaran jiwa manusia yang telah penat dengan penderitaan. Manusia akan berlari dalam senyum, menangis dalam tawa, terdiam dalam candaan, berbicara dalam mimpi. Manusia akan cenderung lupa akan kodratnya. Kodrat manusia yang jauh dari sempurna. Semua akan berontak, semua akan meronta seolah jasad, hati dan pikirannya terikat benang baja yang sangat kuat, tajam dan runcing. Seolah tidak percaya kenapa semua ini bisa melilit dalam tubuh ini. Sementara jiwa terus berontak, berontak dan tak percaya. Tak percaya kalau semuanya selalu bisa teratasi dengan mudah dan sederhana. Bahwa dalam perjalanan hidupnya sebagian besar adalah suka dan bahagia. Ingin punya harta, tak berapa lama usahanya meningkat dan terus melimpah sampailah kaya raya. Ingin punya pengaruh, bergaullah dengan rekan bisnis dan pejabat, jadilah seorang pejabat yang disegani. Ingin jadi figur, sampailah dalam ummat yang banyak menjadi panutan pada kajian masjlis ta'lim. Ingin punya gairah, sampailah dia menjadi idaman semua kaum hawa dengan empat lengan memegang pundak bidadari.
Sampailah jiwa manusia dalam sebuah bentangan kerapuhan. Mata menyempit, dahi telah lelah. Semua terasa hambar bahkan pahit seperti empedu, tak bisa merasakan enak dan kenyang, tak mampu menjumpai gelora jiwa yang damai. Seolah hidupnya sudah diujung tanduk dalam sentuhan malaikat maut. Rengkuhan jiwa dan hati adalah gambaran manusia yang tahu akan kelemahannya sendiri, namun seringkali apa yang dirasakan berbeda dengan apa yang menjadi kenyataan, sehingga jiwa dan hati akan menjadi keras kadang kecil kadang lembek bahkan seolah remuk. Saat itu sampailah manusia pada nurani empati yang tipis. Seolah semua berbeda dengan kondisi memandang kita dengan kefanaan dan kehancuran sementara mereka justru bangkit menjadi manusia yang berbeda. Sehingga sampai pula pada jiwa dan hati yang dholim, bahwa semua telah meninggalkan kita termasuk sang khalik. Dan yang lebih parah lagi sampailah pada jiwa takabur, seolah tidak ada yang mampu seperti kita saat menerima cobaanNya.
Semua adalah gambaran sukma yang melayang tertiup angin. Semoga dengan cepat akan kembali menjadi pribadi yang sholeh. Jiwa dan raga adalah kiasan, sementara ruh adalah kemurnian yang akan selalu mencari TuhanNya walaupun dalam duka yang berkepanjangan. Semoga kita selalu berusaha sekuat mungkin untuk tidak melukai perasaan orang lain dan menjadi lentera dalam gelapnya jiwa orang lain. 
Wallahu'alam Bishowwab.
penulis,
Muhshonu Rohman, ST

 
back to top