Thursday, November 28, 2013

Tahapan Tarekat

Tarekat adalah sebuah media untuk mempertemukan antara makhluk dan sang khalik sebagai penciptanya. Sebuah media yang menanamkan sebuah pemahaman mendalam tentang hubungan zat pencipta dengan manusia sebagai penghuni bumi. Menyadarkan akan arti pentingnya sebuah ibadah yang sistematis tahap demi tahap. Kenapa harus demikian? Jawabnya adalah tingkat kesempurnaan manusia diperoleh tidak hanya melalui media yang pertama kali dihisab oleh Allah SWT di akherat yaitu sholat. Memang sholat adalah kunci pertama bagaimana kesempurnaan amaliah manusia secara utuh. Namun bagaimana menciptakan kronologis sholat menjadi sebuah upaya yang jitu untuk menjadi manusia yang sempurna. Adalah lewat satu perubahan yaitu sentuhan Qolb. Sentuhan Qolb (hati) kita sendiri untuk mampu menerjemahkan setiap arti pada doa-doa sepanjang sholat kita.
Durasi hidup manusia di bumi sangatlah singkat. Terlahir Nabi kita Muhammad SAW. Beliau adalah manusia yang dalam hati dan perilakunya adalah Al Qur'an. Belian berjalan di muka bumi hanya menyampaikan kehendak Allah SWT untuk menuntun umat Islam menjadi penghumi surga yaitu ingat akan Allah sang pencipta dan bahwa hidup di dunia akan berakhir setiap saat dan kembali menghadapNya dalam warna yang berbeda. Nabi mewasiatkan untuk selalu menjaga hati sebagai kunci amaliah. Karena hati adalah warna dari tubuh atau jasad serta ruh yang akan menjadikan setiap manusia punya wadah yang tepat untuk selalu ingat akan Allah SWT di sepanjang perjalanan hidupnya.

Yang sering terdengar di telinga kita adalah bagaimana menjadikan kita selamat di dunia dalam bentangan doa dan sholat kita. Namun sejujurnya terkadang lupa bahwa kata-kata Nabi dan petuah beliau yang banyak diriwayatkan oleh para sahabat dan orang-orang sholeh seringkali dipertentangkan satu sama lain. 
Jiwa tarekat menggambarkan bahwa bagaimana Qolb disiram dengan kalimat-kalimat Allah sepanjang detik demi detik dalam bentangan waktu sepanjang hari. Sehingga setiap kotoran yang menempel di dalamnya dalam hitungan 0,0000 sekian detik minimal bisa diterpa sehingga berangsur menghilang. Sehingga hati kita akan terbuka dan bibir kita menyempit untuk ingkar kepada Allah. Ingkar yang dibuktikan dengan selalu mengejek teman, selalu menggunjing tetangga, berbicara sekehendak bibir, memfitnah, berbicara tanpa titik dan koma, sepanjang hidupnya membuka bibir tanpa henti dan sebagainya. Kasihan melihat manusia melebarkan bibirnya dengan takabur mengajak amaliah kepada manusia lain dengan santainya yang seharusnya hanya hati yang perlu berucap, belum melakukan kebaikan sudah hangus amalnya. Itulah ornamen bibir yang rapuh dengan pujian.
Bila hal itu bisa dilakukan (hati terbuka bibir menyempit), satu koridor lagi bagaimana hati tentram dengan pikiran hanya Allah SWT tempat segala keluh dan kesah. Itulah format sebuah media tarekat dalam bentangkan jiwa dan raga. Dan selanjutnya jalan menuju sholat atau bertemu Allah akan menemukan sebuah gambaran yang lebih mengena dalam sebutan Mukmin.
Jiwa manusia adalah ibarat baja yang tipis, terkena besetan pedang akan koyak, terkena lemparan batu akan retak dan terkena benturan sudut akan getas. Sepanjang hidup manusia hanyalah keluh dan kesah dan selebih kecilnya adalah istighfar dan memang itulah manusia yang ada di bumi. Namun akan berbeda manakala hati manusia sudah masuk dalam serambi surga. Jasad dan ruh di bumi namun hati tenang karena dekat dengan surga. Hingga ruh akan satu dengan jasad beribadah penuh ikhlas dan menjalankan petuah Nabi dengan yakin dan istiqomah.
Semoga kita menjadi manusia yang selalu dapat menempatkan rasa syukur dengan tepat. Wallahua'lam Bishowwab.
penulis,
Muhshonu Rohman, ST

Sunday, November 24, 2013

Oemar Bakri di akhir tahun 2013

Oemar Bakri identik dengan pegawai negeri. Pegawai yang dikontrak pemerintah seumur hidup sampai liang kubur. Ungkapan yang menyudutkan tetapi kadang membanggakan, namun penuh dengan dilema, karena kualitas adalah komitmen dari itu semua. Bila menyimpang tentunya banyak faktor yang menjembataninya. Itulah warna dari hiruk pikuk perjalanan sebuah metamorfosa dari ustadz dan santri.
Pada jaman dulu saat negara ini masih mengenal batu nisan dan sesaji, muncullah agama Islam dalam guratan tanah jawa. Tanah yang menunjukkan aneka ragam perbedaan yang mencoba untuk disatukan dan ternyata kurang berhasil hingga anak cucu kita sekarang. Islam membaur dengan rakyat dan lambat laun muncullah mushola dan masjid. Yang beruban tertutup blangkon lambat laun berganti dengan sorban dan peci. Muncullah yang mengatasnamakan istilah guru atau ustadz dan murid atau santri. Hingga lahirlah dalang dan wayang dalam ornamen cerita pewayangan. 

Hingga sampai abad ini, masih terasa aroma blangkon dan sesajen dilengkapi kemenyan. Namun beranjak pula hilangnya tutur kata wayang berubah menjadi anti klenik atau tutwuri handayani (jawa), atau bid'ah. Dan entah apa istilah lainnya yang beranjak menanamkan karakter generasi muda dalam balutan santri dan ustadz. Hingga muncullah legenda Oemar Bakri karya Ifan Fals yang menjadikan mitos akan guratan ilmu dan peradaban. Akankan kini kita menjadi terlena akan sejarah, akankah kita menjadi lupa akan budaya dan akankah kita melupakan akan keberadaan lakon dalam cerita wayang atau kita akan lebur menjadi Islam yang sejati yaitu anti bid'ah namun lupa akan dzikrullah yang sebenarnya? Jawabnya adalah penilaian Allah berbeda dengan penilaian manusia.
Warna manusia bagaimana yang selalu mendapat respon dari Allah SWT. Jawabnya yang pasti adalah manusia yang ingat kepada Allah sepanjang nafasnya dan selalu beribadah kepadaNya. Bagaimana nilai ibadah yang akan diterima oleh Allah. Tentunya hanya Allah SWT yang akan membalasnya, selagi tujuan utama kita adalah mencari keridloanNya semata. 
Umat Islam adalah umat yang dekat dengan rumahnya yaitu masjid. Umat Islam adalah umat yang dekat dengan air suci karena ingat akan wudlu. Umat Islam adalah umat yang dekat dengan Allah karena selalu berdzikir dalam hatinya untuk upaya mendekat dengan sang Khalik. Namun yang terlupakan oleh umat Islam adalah mereka semua sangat jauh dengan golongannya sendiri. Sesama umat Islam saling menghardik, mengejek, mencela dan menghina seolah lupa Tuhan mereka adalah satu yaitu Allah SWT. Perbedaan hadits saling berbantahan tak mau mengalah saling menang sendiri bahkan lebih parah saling menguatkan Al Qur'an ayat yang satu dengan yang lain, sungguh sangat ironis. Padahal dulu guru dan murid atau ustadz dan santri adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Namun berkembangnya jaman akhirnya sang santri menjadi guru akhirnya muncullah warna baru dari peradaban. Hingga sekarang lahirlah guru kencing berdiri murid kencing berlari. Guru dan murid saling mengencingi sungguh pemandangan yang lebih ironis setelah perkembangan ilmu dibuka selebar-lebarnya oleh Allah SWT.
Marilah mengencangkan ikat pinggang biar amarah yang muncul dari perkembangan peradaban bisa menjadikan kita kuat menjadi pribadi yang selalu ingat akan Allah (Dzikrullah) dalam setiap aspek perkembangan syaraf motorik kita. Wallahu'alam Bishowwab.
penulis
Muhshonu Rohman, ST

Wednesday, November 20, 2013

Sedumuk Bathuk Senyari Bumi

Sedumuk bathuk senyari bumi.. seujung jari yang mengenai dahi dan selebar jari yang mengenai bumi. Peribasa tersebut menunjukkan, betapa besar akibat yang seringkali menimpa kehidupan manusia. Dan dapat diibaratkan kemurkaan manusia yang sebesar-besannya apabila terjadi perebutan mengenai wanita atau bumi. Wajah manusia yang seringkali tersenyum, tertawa ataupun marah. Sebuah ornamen manusia yang akan menciptakan petaka siang dan malam. Petaka yang disebabkan oleh tingkah polah dan ucapan yang berawal dari hati yang kurang jitu dalam mengolah kejataman berfikir. Nilai ukhuwah dirubah menjadi nilai komersil yang mempunyai keinginan untuk suatu maksud tertentu yang akan menjatuhkan datu sama lain. Itulah jiwa seorang manusia yang tidak pernah puas akan kenikmatan yang telah dinikmati sepanjang kehidupannya di dunia. Ibarat pohon yang tandus di siram air. Semakin di siram pohon tersebut akan kehausan dan menginginkan air terus menerus. Ibarat dahaga yang menyengat kena tegukan air surga ingin meminumnya tanpa henti. 

Namun bukan wanita dan tahta yang akan penulis kemukakan di sini. Berbagai argumen manusia seringkali berbohong, bahkan hidup bertetangga adanya saling hasat hasut dan dengki seolah mau menang sendiri dan hidup sendiri. Itulah wajah kehidupan manusia yang merasa sudah terkena dosa dan kesalahan tetapi tidak pernah merasa berdosa karena seolah sudah tertumpuk oleh pahala yang melimpah. Tidak pernah berupaya menata hati, akal dan pikiran untuk berupaya mencari surga yang sebenarnya yaitu baik terhadap tetangga dan sekelilingnya. Padahal nilai ibadah kita bukan tolak ukur akan kemenangan kita menghadap SWT di akherat kelak. 
Nilai ibadah kita yang sebenarnya adalah bagaimana menerjemahkan kalam Allah yaitu Al Qur'an dalam hati dan perilaku kita sehari hari  sampai kita meninggal kelak. Mengapa sholat ibadah yang paling utama di nilai Allah SWT, karena sholat wujud pertemuan kita dengan Allah. Saat kita bertemu Allah apakah jasad dan ruh kita mampu menghadapnya dengan sebenarnya? Jawabnya adalah hanya sedikit orang yang mampu bertemu Allah SWT yaitu Nabi dan Rasul serta para ambiya atau orang-orang sholeh. Apakah kita sudah merasa menjadi orang sholeh? Jawabnya kembali adalah bisa iya ataupun yang semestinya tidak.
Manusia tempatnya iri dan dengki karena ibadah yang siapapun lakukan belumlah mampu menerapkan konsep Qur'an dalam setiap detak nafasnya. Jauh sekali dari kata Mukmin manakala setiap pandangannya tentang orang lain selalu menaburkan su'udhon dan melecehkan setiap orang. Harta bukan harapan bahkan ukuran karena bumi akan menelannya mentah-mentah. Jadad adalah wadag yang akan berkalang bumi namun ruh adalah inti yang akan menemukan Allah SWT dalam setiap mimpinya di dunia, alam kubur ataupun besok lusa yaitu akherat yang kekal.
Subhanallah.. Astaghfirullah.
Wallahu'alam Bishowwab.
penulis,
Muhshonu Rohman, ST

Monday, November 18, 2013

Runtuhnya Kultus Pemimpin

Mahkota DEWA seorang Pemimpin
Sebuah negara berdiri karena ada wilayah dan rakyatnya yang mendiami negara tersebut. Muncullah pemimpin-pemimpin bangsa dalam kurun waktu sesuai dengan perkembangannya jamannya. Setiap perhelatan besar kebangsaan akan mengalami politik dan stategi untuk kelangsungan bangsa dan negaranya. Dan itu adalah kewajiban dasar seorang pemimpin yang wajib di taati dalam sebuah negara. Bagaimanapun revolusi sebuah negara akan berkecamuk, nomor satu adalah keselamatan bangsa dan negara dari semua paham dan kekeliruan. 
Pemimpin bangsa adalah seorang tokoh yang muncul dalam perkembangan sebuah politik bangsa. Semua akan menilai dan berjalan dengan bijaksana manakala sebuah dasar kepentingan untuk kelangsungan dan kejayaan bangsa. Awal inilah yang membuat permasalahan baru seorang calon pemimpin bangsa. Istilah kata sederhana adalah bagaimana keinginan seseorang untuk menjadi pemimpin. Pemimpin yang akan menjadikan dia terkenal, terkemuka, disegani, punya nama besar, harum semerbak namanya, kaya raya, mampu menjadi panutan semua orang di negara tersebut, mampu menunjukkan kejayaan sebuah negara. Faktor inilah yang mengarahkan seorang ingin menjadi pemimpin.

Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah bagaimana watak seseorang yang sebenarnya sebelum dia menjadi pemimpin dan setelah dia menjadi pemimpin. Yang muncul adalah sebuah tarik dan ulur antara keinginan dan keimanan atau istilah kerennya adalah kualitas spiritual dan kualitas nafsunya. Seorang yang sukses dalam urusan spiritual yaitu orang yang kuat ibadahnya sudah sangat terlatih dalam amaliah menjadi seorang musim sejati. Namun tidak demikian setelah dia menjadi pemimpin, sudah bisa dipastikan amaliah dan tabungan ibadahnya akan dikalahkan oleh glamournya nafsu dan kehidupan dunia apalagi notabene semakin disegani, finansialnya semakin banyak, semakin disegani, semakin banyak uang dan lainnya. Yang ada jiwa seorang manusia akan terlena dalam itu semua walaupun kualitas spiritualnya brillian. Kenapa faktor tersebut selalu akan muncul? Jawabnya adalah setiap pemimpin akan dipertanggungjawabkan kepemimpinannya di akherat dan semua orang tahu akan hal tersebut, apalagi seorang muslim tulen. Namun sebaliknya setiap dari kita semua pasti akan lupa akan kalimat tersebut, yang tergiang dalam angan dan keinginan sehari-hari adalah bagaimana menjadi semakin terkenal, semakin disegani, semakin kaya dan semakin melimpah kehidupannya. Prosentase ke arah lebih mulia dan berkualitas dalam segi spiritual dan sosial adalah sangat kecil.
Jiwa seorang pemimpin yang patut digarasbawahi adalah TA'AWUN. Sebuah sikap yang mendasari dan melemahkan sikap-sikap arogan seorang pemimpin. Sikap tolong menolong adalah sikap yang muncul dari kecil. Jikalau seorang pemimpin terlahir sikap ini kurang dari kualitasnya. Bisa jelas dipastikan nantinya setelah jadi seorang pemimpin kurang mempunyai empati yang berkualitas. Cenderung diktaktor dan kontroversial bahkan yang lebih mencegangkan adalah apatis. Semua dinilai dengan timbal balik, siapa memberi haruslah ada timbal baliknya. Kenapa pemimpin sebuah bangsa yang besar dan menjadikan dia besar namun lemah dalam empati dan amal baik. Adalah dalam diri seorang pemimpin tersebut kualitas ta'awunnya menurun dalam tahun-tahun kepemimpinannya yang meningkat adalah jiwa hedonis dan anarkis sosialisme. Degradasi inilah yang mencerminkan watak nasional warga negara yang kurang empati dalam kehidupan individu dan sosial. Disadari atau tidak kita telah banyak mengenal sejarah. Entah sejarah direkayasa atau tidak yang jelas perjalanan sejarah bangsa kita telah mengalami turnamen kepemimpinan bahkan perang kepemimpinan yang sangat pelik.
Saudara sebangsa dan setanah air, jiwa yang kita miliki adalah jiwa seorang pemimpin. Jika seorang pemimpin ingin menjadi seorang pemimpin sejati yaitu dunia yang utama dan akherat yang paling utama sudah selayaknya kita selalu istighfar apa yang telah kita lakukan. Bukan kita selalu bersujud dalam dentingan 5 waktu sholat namun dalam perjalanan kaki, hati dan perilaku kita selalu menengadah ke atas tidak pernah melihat ke bawah bahkan bersujud menjatuhkan kepala kita dalam lumpur tanah yang becek.
Semoga kita menjadi pribadi yang istiqomah, pribadi yang taat kepada Allah SWT dan pribadi yang alim dalam kepemimpinan di lini terkecil kehidupan kita.
Wallahu'alam Bishowwab.
penulis,
Muhshonu Rohman, ST

 
back to top