Monday, December 8, 2014

Taqwa, Cerdas dan Terampil digubah menjadi K-13

Ungkapan manusia dalam polemik pendidik dan pendidikan adalah diorama yang menyebalkan, kenapa demikian? Karena manusia suka membangun dan yang lebih disukai lagi seorang manusia adalah suka merusak. Merusak dengan dalih perubahan, merusak dengan imbalan kesejahteraan, merusak dengan ungkapan apatis, merusak dengan ungkapan reformasi bahkan ungkapan dengan istilah revolusi. Ungkapan yang akan menaikan nama baik seolah siapa yang berjuang dan siapa yang tidak pernah atau jarang-jarang ambil bagian dalam perjuangan. Dan muncul kembali pertanyaan bahwa siapa yang pantas dan paling cerdas dan siapa yang menyimpulkan dan penuh dengan kebaikan dalam perjuangan dan memunculkan ikon PAHLAWAN.

Guru-guru kita yang telah mendidik kita telah perjuang dengan penuh kedermawanan, penuh dengan sumbangsih yang besar, penuh dengan olahan aklahk yang manusiawi dan penuh empati. Penuh dengan semangat panyang menyerah. Penuh dengan deraian air mata. Penuh dengan polemik kesenjangan dan segumpal nasi untuk dimakan dua hari. Pengajar yang meninggalkan jejak kepahlawanan berjuang dengan sepatu yang lusuh dan baju yang ala kadarnya rapi dipakai dalam setahun. Pengajar yang kesehariannya bergulat di sawah ketika petang pulang dan pagi harinya bergegas dengan tas robek bersepeda onthel menemui murid-muridnya yang sudah siap di jalan-jalan menuju kelasnya. Pengajar yang tidak mau disebutkan namanya sebagai GURU. Pengajar yang mengabdikan hidupnya untuk keutuhan murid-muridnya supaya tidak drop out. Menjaga keutuhan ekosistem sekolah, mengabadikan torehan dengan kapur.

Kita amati jaman yang telah goyah ini, pengajar penuh dengan kemewahan. Apalagi yang notabene sudah PEENES. Semua sudah sangat sejahtera, gaji yang dirasa cukup bila BBM tidak naik. Dan dicukup-cukupkan untuk kebutuhan selama sebulan dengan tanpa lambaian awan yang mendung. Recehan yang siap dipakai habis saat masuk Toserba bertemu murid-muridnya yang bergandengan tangan dengan pacarnya. Dan sekelumit imitasi kehidupan seorang pengajar di jaman ini yang sangat menggairahkan. Naungan kehidupan seorang guru yang selalu dipanggil (RU = jawa). Seolrah pandangan yang sangat sakral yang menunjukkan kemampuannya sebagai wahana kebaikan dan keilmuan. Apakah semua ini mnejadi alibi bawah seorang guru bukan seorang malaikat? Seorang guru adalah manusia biasa yang rentan dengan kelemahan dan kegalauan. Penuh dengan polemik hidup seperti kebanyakan manusia biasa, selepas pegang spidol sorenya pegang gagang pacung di sawah. Manusia yang ingin dianggap sederhana oleh yang lainnya untuk kebaikan diri.
Tenggoklah bagaimana pola yang sudah matang dengan bidikkan TAQWA, CERDAS dan TERAMPIL sudah digaungkan dahulu kala saat penulis masih di bangku sekolah. Bagaimana pola pendidikan di kala itu sudah sangat dramatis hingga mampu memunculkan profesor dan doktor. Bagaimana guru di jaman itu sudah mengenal kebinekkaan dan keberagaman interaksi manusia dalam pola agamis, pengetahuan dan keterampilan. Dengan teknologi yang sangat pelan untuk mengatur kenyamanan dialog dengan peserta didik. Bagaimana sulitnya menerjemahkan pola fikir anak dengan guru. Merekapun sudah penuh dengan alibi yang kuat hingga kurikulum yang diluncurkan sudah cukup efektif untuk menggauli murid-muridnya dengan kemenangan dan prestasi yang nyata.
Jaman ini telah merubah Cerdas menjadi Pengetahuan, Terampil menjadi Keterampilan dan Taqwa diolah menjadi Aspek Sikap dan Sosial. Ironisnya adalah bagaimana jeda antara iklan dan film menjadi penentu keberhasilan kita selama proses itu. Jawabnya adalah bagaimana menerapkan manusiawi, empati dan kemegahan menjadi aspek yang urgen untuk kemajuan dan kemashuran. Guru bukan dikataktor yang harus menanamkan sebuah karakter nilai dalam skor, namun obyektifitas nilai bukanlah penentu dari kualitas seorang pelajar. Olah pola fikir yang menjadikan mereka merasa menjadi pribadi yang mampu berkarya. Bukan berbagai tugas melelahkan yang justru mengesampingkan nilai dan membosankan. Sedikit tugas dan penialian yang bermakna sama halnya telah mencapai kualitas dari kompetensi dasar yang diharapkan. 
Kita tengok silabus dan buku paket atau referensi banyak yang tidak sesuai kompetensi dasarnya, bahasa baku yang digunakan di silabus jauh dari kualitas standart prosedur dari yang ditentukan, analisis siswa sebatas pemakaian media yang kuran relevan dengan kondisi lingkungan, keberadaaan sarana yang kurang sinkron dengan budaya silabus dan kompetensi. Dan masih ada segelintir simpang siur antara hak dan kewajiban murid dan guru. Cobalah di revisi dengan bijaksana karena anak bangsa ini adalah semboyan untuk negara yang akan maju dalam era yang baru.
Semoga kita bisa meraih kebenaran dalam mengolah peserta didik bukan orang tua yang selalu disibukkan dengan PR anak, sementara anak-anak kita melepaskan bermain demi brwowsing di internet yang mengggiurkan.
Anak bangsa adalah elemen yang sangat berarti demi kemajuan bangsa dalam segala bidang. Harga yang sangat mahal apabila kita jadikan mereka kelinci percobaan yang harus merasakan ketidakyamanan dan jauh dari harapan cita-cita mereka.

penulis,
Chiezhoen

Monday, December 1, 2014

GURU DRONA

Berbagai macam polemik muncul dalam setiap benak manusia. Yaitu bagaimana manusia bisa menjadi manusia yang faseh menciptakan kenikmatan dan akan dibawa kenikmatan tersebut dalam alam akherat. Maksudnya adalah manusia yang seperti apa yang perlu diciptakan di dunia sebagai wujud kelengkapan bumi dan seisinya.  Saat muncul pertanyaan seperti ini akan banyak karakter yang menerjemahkannya. Kenapa penulis bilang karakter, karena manusia tidak lepas dari karakter aslinya menelanjangi setiap nafas yang menaunginya. Setiap manusia berbeda dalam setiap gerakan hidupnya. Dan semua akan bersumber dari bagaimana dia berakhlak dan beraqidah. Aqidah yang benar atau yang sesat semua akan kembali pada kualitas keyakinan yang dimilikinya. Dan ini akan membentuk karakter yang berbeda satu sama lain. Bahkan ironisnya setiap karakter ini akan memutarbalikkan keyakinannya dengan ditopang ego dan perangainya bukan aqidah yang membelenggu akhlak namun akhlak yang menuntun kebiasaan beribadah, bermuamalah dan beraqidah.

Apakah semua sudah mencerminkan kepuasan sebagai manusia? Jawabnya adalah dari siapa kita dibentuk. Oleh wadah apa kita dibesarkan. Bagaimana proses pendewasaan kita selama ini. Untuk siapa semua yang kita lakukan. Bagaimana tolak ukur semangat hidup kita dalam koridor super ego. Siapa yang kita panuti. Akankah kita bisa kembali berubah.
Semua pertanyaan akan muncul dalam benak siapapun untuk menyimak celah pemikiran dari masa ke masa, dari waktu ke waktu dan dari wajah ke wajah. Perjalanan hidup review ulang untuk menemukan kembali jatidiri dan biografi kita menjelang dan selang menurunnya usia. Akankah semua bisa terjawab? Tentunya kembali kepada kesabaran kita dalam menerjemahkan perjalanan hidup kita dari awal hingga saat sekarang ini.
Banyak momentum yang menjadikan perjalanan wajah kita menjadi dewasa, dewasa karena sebab akibat, dewasa karena dipaksakan oleh sebab, dewasa karena harus memaksakan diri demi meneruskan hidup, dewasa yang terbentuk oleh peradaban dan pergaulan, dewasa yang digebiri oleh orang tua kita, dewasa yang dituntun oleh pasangan hidup kita karena tertekan, dewasa yang mutlak karena impian dan ambisi kita, dewasa yang muncul karena faktor tidak disengaja dan berbagai bentuk kedewasaan yang menjadikan kita dewasa (gede dawa lan rosa = jawa).
Dari siapakah kita menjadi sampai seperti sekarang ini. Pertama adalah nikmat dari Allah SWT yang menghidupkan kita. Kedua, dari orangtua kita yang telah melahirkan, mendidik dan membesarkan kita. Ketiga, dari pengajar (ustadz/guru) yang telah menyampaikan keilmuannya demi perjalanan hidup kita. Keempat, dari nasib kita yang telah menjerumuskan kita menjadi manusia seperti sekarang ini. Dan akhirnya Kelima adalah kita akan kembali pulang ke pangkuan Allah SWT dengan kemampuan kita selama hidup di dunia.
Orangtua dan guru adalah hakekatnya sama, bagaimana menghormati orangtua kita, jelas setelahnya mampu menghormati guru-guru kita. Seperti apa kita memperlakukan orangtua nantinya juga kita bisa menjadikan guru kita simbol kebanggan. Saat mencurahkan kasih sayang kepada orangtua hakikatnya kita jelas akan mampu memberikan kebahagiaan kepada guru-guru kita dengan berlaku bijak dan patuh. Bagaimana kita membentuk kematangan dari orangua kita jelas kita mampu menjadi guru sebagai suri tauladan peserta didik.
Dalam peran wayang masih ingat seorang guru, yaitu Guru Drona sebagai wajah atau wujud untuk mewujudkan kematangan seorang penerus peradaban Kurawa dan Pandawa. Yang dikisahkan bagaimana dia mewujudkan impiannya menjadikan anaknya seorang yang punya martabat tinggi dan upaya apapun bisa dicapai walaupun dia adalah wujud seorang guru. Sehingga antara kecintaan dan umat menjadi kesamaan kenikmatan namun dalam kenyataan jauh dari persamaan. Jadilah pribadi yang lemah dalam budaya untuk kemulyaan dan empati. Dalam perjalanan Guru Drona adalah perwujudan kualitas seorang yang mumpuni dalam keilmuan sejati, namun dia adalah sama seperti yang lainnya yaitu seorang manusia biasa. Dia terlena dan tak tak berdaya karena cinta akan putranya Aswatama. Dalam gerak hidup dan semangat hanya putranya pembawa kabar gembira. Dalam pemahaman Islam anaknya menjadi fitnah dalam kehidupan nyata dan tak berdaya untuk menggapainya.  
Muncullah wujud guru yang ada di Negara kita. Bagaimana para ulama memberikan wejangan demi kemerdekaan dan kesejahteraan Indonesia. Dan sampailah pada saat yang berbahagia kita mengalami jaman kemerdekaan sampai saat ini.
Namun, perjalanan waktu terkadang jauh dari sempurna. Bagaimana guru yang ada di Indonesia menjadi publik figur untuk menyejahterakan putra putri anak bangsa ini penuh lelah. Sarat dengan naik turunnya perjuangan dalam alam yang penuh kemerdekaan (katanya). Guru di jaman ini berbeda dengan guru pada masa perjuangan melawan penjajah. Guru di jaman ini justru berjuang mengangkat spidol untuk mencorat coret siswanya dengan spidol putih untuk membasuh kotoran oleh imbas asap kendaraan. Dari bisingnya kemajuan dan teknologi yang membuat carut marutnya peradaban. Dari harga BBM sampai harga lombok di pasar. Dari kebisingan dibuai dengan wewangian sampai dibuai oleh supermarket dan mall. Dari kebisingan berkebutuhan konsumtif sampai hidup hedonis dan apatis. Dan berbagai anugrah dari jaman modern ini yang membentuk karakter yang dikatakan peserta didik.
Sehingga kesimpulannya bagaimana menjadi guru di abad ini? Jawabnya adalah ibarat dalang yang biasanya pegang wayang dengan tangan terbuka, bagaimana dalang harus memegang wayang dengan tangan dan kedua kakinya. Bagaimana guru di jaman ini harus bisa merubah asuhan kepada siswanya karena jamannya telah berbeda, berbeda saat dia masih sebagai murid dahulu.
Semoga nasib guru menjadi bagian nasib bangsa ini, sehingga perjuagan guru akan selalu dihargai sepanjang hayat masih dikandung badan.
Wallahu'alam Bishowwab
penulis,
Chie (Muhshonu Rohman)

Sunday, September 28, 2014

Muna dalam perpektif Islami


Semua menilai dan memberikan komentar, semua menghujat, memberikan olokan dan semua menilai dan memberikan kepalsuan. Jelas sudah bahwa kepalsuan datang dan terlihat manakala sebuah penilaian hadir tanpa sengaja dilakukan bahwa sebaliknya dengan sengaja dilakukan. Jelas sekali karakter setiap orang secara utuh. Karakter manusia yang sesungguhnya dihadapan orang lain. Bahwa setiap manusia ingin dipuji dan disanjung namun sebaliknya mereka enggan melakukan hal yang sama bahkan menjadi kebalikannya justru menghujat dan mengolok-olok. Terlihat sudah bahwa segelintir orang yang menilai baik kepada diri kita. Padahal kita sendiri tidak pernah memberikan penilaian negatif terhadap mereka. Itulah warna aura manusia dalam kehidupan di dunia. Sudah selayaknya kita bercermin dan selalu mempunyai pola fikir terbaik dalam berinteraksi dengan orang lain. Sehingga amaliah yang telah lama dikumpulkan bukan hanya isapan jempol yang akan menguap hilang dalam tabungan dan saat kita menuainya ternyata wadah itu telah kosong kembali. Ibarat pepatah, 'habis manis sepah dibuang', setiap kita dibutuhkan orang lain selalu disanjung dan dipuja, namun setelah tidak dibutuhkan dibuang bagaikan bungkus makanan favorit. Jelas sudah karakter manusia dalam lini kualitas amaliah dan ada pepatah 'keelokan paras bukan jaminan halusnya budi', dalam pepatah jawa, 'ajining sariro soko busono ajining diri soko lathi. Itulah dalam nuansa hikayat.
Kita sudah sangat percaya akan balasan setiap amal yang baik, baik itu ucapan dan tingkah laku. Namun saat itu justru kita akan lupa apa makna dari itu semua. Dan tak pernah berfikir kenapa semua keadaan hidup ini penuh suka dan duka bahkan banyak dukanya. Karena seringkali kita dengan sengaja memberikan karya yang indah yaitu membuat orang lain terluka. Apakah perbuatan kita dibenarkan, mungkin dibenarkan untuk pola fikir sendiri. Tapi bila yang menilai Allah SWT, jelas Dia akan memberikan penilaian sesuai apa yang ada pada hati masing-masing insan. Mungkin anda bisa berdusta bila tidak suka dengan orang lain namun yang maha kuasa pasti tahu setiap mimik yang diciptakan keluar dari hatimu walaupun semulus atau secantik apapun wajahmu Dia akan menilaiNya.

Kebohongan dan kepalsuan hubungan dengan sesama manusia akan melahirkan sifat keras hati. Hati kita akan terlena akan bisikan surga, merasa kita paling bijaksana, paling terbaik, paling cerdas, paling istimewa di hadapan Allah SWT. Namun pada sadarnya hati kita sedang sakit. Sakit karena banyak sekali kekurangan kita dibanding orang lain yang lebih bahagia hidupnya. Dan kebahagiaan itu muncul bukanlah dalam ornamen materi namun lebih mendekati pasti ke arah kepuasan hati. Apakah kita sendiri tidak berbohong kepadaNya, apakah kita selama ini ridho akan kehendakNya. Dalam setiap renungan di sela kesibukan seseorang pasti akan mengalami titik kritis untuk hati bisa meneteskan air mata kesombongan kita.
Ruh yang mengalir dalam jasad tidak pernah diberikan bisikan Dzikrullah, sehingga hati kita keras bagaikan bongkahan batu dan sekuat apapun amaliah hati akan membisikan pola fikir jelek dan keluar lewat bibir segala bentuk kesalahan demi sebuah kepuasan. Sungguh sangat disayangkan dalam satu kali hidup selalu memberikan kemudhorotan bahkan untuk diri kita sendiri. Bagaimana ruh akan terbangun dalam sandaran syareat yang kokoh apabila nilai ini selalu digaungkan sebagai hal yang terbaik dalam hidup kita. Kebodohan datang saat kita bangga akan kelebihan dan kebenaran setiap ucapan kata kita. Dan justru ini akan berimbas Allah SWT akan perlahan menjauhi kita.
Semoga kita tersadar sebagai manusia yang terbaik dalam kultus Islam yang terbaik (katanya), sebagai suri tauladan Isme terbaik (katanya) dan semua hingar bingar kultus hikayat Imam jadi upaya mengarahkah dalam surga Allah bukan sebaliknya semakin mendekat kepada NerakaNya. 
 Laa ilaha illa anta. Subhanaka innii kuntum minazhaalimiin.
 penulis,
chiezhoen

Tuesday, September 9, 2014

Hadiah Terindah

Kumpulan sajak bukanlah satu dari keindahan isapan cinta, dentingan gitar bukanlah satu kepastian dalam impian cinta, untaian cincin dan teratai gelang bukanlah utama untuk menyatukan cinta yang terkoyak dan untaian bunga merona bukanlah daun yang bisa menahan rintihan air hujan. Apa yang mampu menjadikan wujud menjadi ada? Adalah karena mampu menjadikan mimpi berubah dalam wujud nyata. Mimpi untuk menyatakan sebuah perubahan dalam arti cinta, mimpi akan menyatukan sebuah gubahan cinta yang terlena. Mimpi akan kisah sebuah misteri yang terindah karena cinta. Mimpi akan keikhlasan cinta dan semangat dalam dermaga bunga. Mimpi yang mewujudkan adanya warna yang telah hilang. Mimpi yang bisa membuat manusia sadar. Sadar bahwa semakin kita mulia dan bahasa untuk memuliakan kita dihadapanNya akan berujung pangkal kedekatan kita kepada_Nya akan semakin lemah.

Duri yang bersama daging akan terasa hampa manakala daging telah lepas menyertainya, ibarat gitar yang terlepas dari senarnya. Itulah gambaran watak dan kesediahan manusia yang menyebabkan luntur kebersamaan dengan lidah dan tulang rusuk. Banyak mantera dalam wujud kemulyaan dunia baik kekayaan maupun jabatan yang menerobos ruang dan waktu menghelawa nafas panjang melupakan arti ruh surgawi yaitu ridho. Ridho akan keyakinan yang mutlak bukan ambis dan tirani. Tirani hati dan ambisi otot yang menyebabkan lupa bahwa tembok yang kokoh akan tak sekokoh bila janji di dalamnya kurang semen dan mixture yang akurat. Sampai kapan kita akan menemukan sebuah warna dari indahnya kehidupan dunia? Jawabnya adalah materi yang menyebabkan manusia sabar akan cobaannya. Materi dalam wujud nyata dan dalam ornamen raut muka.
Hadiah yang terindah manusia adalah bagaimana kita mendapatkan barang yang istimewa. Apa itu semua? Yaitu barang yang membuat kita akan selalu mengenang, mengenang yang memberikannya, Misalnya adalah hujan. Hujan turun bagaimana manusia berusaha mencegahnya untuk tidak mengenai badan kita. Bagaimana kita menghindar dari upaya hujan untuk meraih jasad kita. Sementara kita sebuk menghelanya hujan semakin deras menerpa kita. Contoh lain adalah siraman air terjun di wajah kita, bagaimana wajah kita terkoyak derasan air terjun tanpa bisa beranjak. Nyaman dan nikmat namun melelahkan dan sakit. 
Itu adalah gambaran hadiah terindah dari sang Kuasa. Sementara bagaimana hadiah terindah bila datangnya dari yang terkasih? Adalah lebih jauh lagi tentunya kehangatan dalam warna raut wajah, Bilakah itu datang? seperti siraman mata air surga tentunya. Semoga kita tersadar bahwa hadiah yang terindah akan datang dan pergi kapanpun dia mau sementara abadi dan tidaknya tidaklah jadi jaminanan dalam masa yang akan di lalui. Yang terindah adalah sebuah senyuman yang memancarkan warna alami dari cinta, Tanpa wujud dan kefanaan dan harapan, muncul demia sebuah asa yang akan berjalan setiap saat walaupun dalam sautan pagar. Semoga hadiah terindah akan muncul dalam bentuk fana yaitu kesamaan antara hati, ruh dan jasad.
Manusia adalah tempatnya khilaf sementara malaikat adalah tempatnya sandaran ketajaman sang khalik untuk meyakinkan setiap manusia dalam jalanNya. Sementara mahluk lain adalah kesempurnaan planet ini. Semoga kita selalu sabar.
Wallahu'alam Bishowwab.
penulis,
Tjie Zhoen

Wednesday, August 27, 2014

Separoh Jiwa

Semakin tambah usia setiap orang akan mengalami fase perkembangan pada kurva yang menurun. Menurun karena dehidrasi setiap wawasan dan kemajuannya. Kemajuan setiap orang pada perkembangannya akan mengalami kemunduran pola fikir dan analisa. Titik kritis dalam kronologis 24 jam bersama matahari dan rembulan akan mengakibatkan beban spiritual yang menyebabkan setiap manusia mengalami perubahan fisik dan perangai. Walaupun manusia tersebut melampaui batas kemajerial bersama sang Khalik, tetap kualitas ibadah yang maksimal akan tidak dapat teruji oleh ujian_Nya sendiri dalam keterbalikkannya. Ridho Allah SWT dapat diterima oleh manusia dalam budi dan akal fikirnya, namun sisi lain yang terkuak adalah manusia itu sendiri setelah mendapat ridho dari_Nya banyak sekali yang justru tidak bisa mengembalikan Ridho tersebut bila apa yang dialami menuai sebab dan akibat atau sudah diberi anugrah masih mengalami kekecewaan karena kurang pas dengan apa yang dikehendaki, itu adalah kefanaan manusia di dunia.

Berawal dari hal itu kenaikan temperatur suhu pikiran manusia akan semakin meningkat manakala setiap yang hilang tidak bisa kembali lagi. Uang yang hilang raib dibelanjakan tak bisa kembali, istri yang hilang alias minggat tak ujung kembali raib dimakan kehidupan, suami yang galau dengan perangai istri akhirnya memilih diam dan pergi mencari rumput tetangga karena lelah dengan gaya hidup istri, pejabat yang stress karena tidak bisa mendapat gratisan pulsa dari koleganya terjun bebas dari apartemen, ulama yang dholim karena kehilangan umat sehingga isi ceramah hanya surga dan neraka untuk menakuti manusia atau tetangganya sendiri, guru yang keras karena jerih payahnya tidak pernah dihargai oleh sekolah dan penyelenggaranya, anak sekolah yang kehilangan sopan santunnya karena orangtuanya sibuk mencari sesuap nasi kaki menjadi kepala dan kepala dijedogkan ke tembok biar dapat sesuap kehidupan bagi anak-anaknya, dan sebagainya. 
Tenggoklah anak kecil. Hidup mereka hanya bermain riang gembira tanpa keterpaksaan tanpa beban. Sepanjang hari hanya tertawa dan bersenda gurau tanpa mengenal lelah namun batin dan jiwa mereka sangat polos dan jujur. Dalam benak mereka hanya sebuah keindahan. Dan kehidupan mereka diwarnai perubahan dalam aktivitasnya. Kadang main di lapangan, terkadang bersepeda di padang rumput, juga sesaat memandang bebek di sawah sambil berlarian, hiruk pikuk silih berganti dalam beraktivitas.
Bagaimana dengan kita orang tua, setiap saat bergelut dengan pekerjaan yang monoton karena saat inilah pekerjaan pilihan yang harus menopang hajat hidup keluarga. Pikiran mereka terfokus demi sesuap nasi dalam tiap bulannya. Jadilah mereka bahan pelampiasan waktu dengan kejenuhan aktifitas yang menjemukan. Dan kapan mereka akan merasakan bersendagurau tanpa beban?. Solusinya adalah tafakur dalam wujud tarekat yaitu penyatuan diri antara jasad dan sang khalik yang akan mengembalikan keindahan dalam warna hidup ibarat anak kecil. Kembali fitroh dalam rengkuhan sang waktu dalam takdir kehidupan mereka masing-masing.
Semoga kita akan tetap tenang dalam menjalani hidup yang penuh liku dan tipu daya dunia. Semoga keselamatan dan keberkahan akan kita alami dalam hidup di dunia juga kelak di akherat. Amin.
Subhanallah Wa Bihamdihi Subhanallahil Adzim
Penulis,
Tjie Zhoen

Sunday, August 17, 2014

Tujuh Belas Agustus

Enam puluh sembilan tahun bangsa ini sudah lepas dari penjajahan negara asing. Rakyat sudah lama merdeka dalam beberapa keturunan bergulir, tinggal sekarang saat ini kita yang mengisinya. Bagaimana bentuk pengisian kemerdekaan yang telah membawa bangsa ini bisa memilih Presidennya. Bisa memiliki banyak pusat perbelanjaan sehingga mau makan enak dan tidur nyenyak adalah sebuah harga mati yang telah bisa dirasakan semua rakyat. Rakyat siapa? Tentunya rakyat Indonesia yang sudah sangat cerdas dan cendekia, selalu mampu menerjemahkan semua yang akan terjadi dan sudah terjadi seperti paranormal. Itulah yang berkecamuk dalam benak kita semua. Semua ingin menjadi terkenal, semua ingin menunjukkan kepiawaiannya menjadi bangsa dan rakyat yang besar hingga lupa apa arti sebuah kemerdekaan itu sendiri.

Beragam rasa ingin disatukan dalam kesatuan tujuh belas agustus. Ingin menyatukan semua rasa dalam rasa yang sama yaitu nasionalis. Apakah mampu? Jawabnya adalah bagaimana jiwa nasionalisme masih ada dalam dada semua rakyat, pasti sebuah rasa kebangsaan dalam ranah merdeka masih bisa didengar dan bukan hanya dentuman mercon bersautan yang selalu dikedepankan. Rasa itu adalah bagaimana menyatukan satu pemimpin untuk wajah polos Indonesia dalam era panjang era visio terapi dalam jaman perang teknologi. Bukan warna dari saling olok dan dengki dalam usungan kepentingan dan ambisi. Saling olok etnis dan agama bahkan dalam satu agama. Adalah sebuah pemandangan dalam kemunduran dari usia kemerdekaan itu sendiri. Inilah sebuah warna lain Indonesia yang akan berjuang kembali setelah merdeka yaitu perang kemerdekaan.
Perang dengan bangsa Asing yang mencoba menjajah kembali dengan ideologi dan kultur terapi yang pragmatis. Sebuah peradaban yang akan membawa bangsa ini menjadi bahan gunjingan karena kebodohan kita sendiri setelah merdeka selama 69 tahun. Bagaimana tidak bodoh, kita membuka kebodohan ini terbuka lebar, arogansi politik, pola pragmatis kultur, degradasi agama, krisis demokrasi, dekotomi teknologi, kepuasan struktural sampai pada paham korupsi berjamaah dan legalitas institusi. Semua makna yang aneh sudah merambah dalam wadah merdeka. Hingga pemilihan Presiden menjadi ajang menonjolkan berpolitik dengan bersih dan jujur (katanya). Inilah warna Indonesia dalam alam terbuka setelah jaman Reformasi. Sehingga, apa kata dunia, apa kata pejuang kita tempoe doeloe yang berikrar satu bangsa untuk kemerdekaan. Berkikrar menjadi bangsa yang besar. Dan ternyata kita memang bangsa yang besar yaitu besar kepulauannya. Besar ambisinya untuk saling berebut pemimpin atau figur contoh. Sementara anak didik kita banyak yang keleleran tidak masuk sekolah, sekolah sering mbolos, remidi berkepanjangan, tidak ada sopan santun. Dan wujud ketidakjujuran kita selalu kita tonjolkan dalam ornamen riasan dalam bentuk pawai TUJUH Belasan. Dan ternyata hanya bohong dan isapan jempol belaka pada rutinitas kesehariannya.
Semoga kita cepat tersadar sebelum terlambat menjadi bangsa besar yang bisa jadi akan kembali kecil dan lenyap terjajah kembali.
Hasbunallah wani'mal-wakîl, ni'mal-mawlâ, wani'man-nashîr
 
Wallahu'alam Bishowwab.
penulis,
Tjie Zhoen

Wednesday, July 23, 2014

Salam Tiga Jari

Rakyat, itulah filosofi seorang pemimpin untuk keagungan sebuah tahta. Tanpa rakyat bagaimana singgahsana akan bisa tetap kokoh menjadi poros untuk putaran roda. Nurani adalah nomor sekian dari sebuah fenomena alam manusia mencapai tahapan perkembangan kejiwaan dan fisik. Untuk kemajuan, kesekian kalinya akan tumbuh dan berkembang sebuah peradaban dalam kurun waktu naik dan turun, tumbuh dan berkembang menjadi peradaban baru. Itulah bentuk fakta dari sang Khaliq yaitu Allah SWT. Dengan upaya bagaimana manusia akan merubah sebuah keputusan maha kuasa, tentunya dengan kesalehan dan kepasrahan tinggi menjadi manusia yang lebih sempurna dihadapan Dia bukan dihadapan manusia lainnya. 
Perjuangan bangsa adalah upaya menjadikan setiap pribadi warga negara menjadi tentram untuk hajat hidup masing-masing. Setiap yang fana tentu akan mengalami kemajuan dan kemunduran seperti putaran roda, terkadang di atas dan terkadang menginjak kotoran saat menyentuh tanah.

Dewasakah bangsa ini? Jawabnya adalah bagaimana upaya baru bisa diciptakan untuk memulai hal lama yaitu semangat saat kita menjadi anak kecil, saat mulai bisa merayap dan berjalan dengan kaki menjadi manusia yang siap seperti lainnya. Namun semua adalah warna yang berbeda tanpa manusia dewasa tidak akan bisa bangkit saat terjatuh bila mulai bisa berjalan. Tulang punggung masih rapuh, topangan semua manusia adalah wujud dari keyakinan baru untuk lebih kuat menjalani aqidah yang semakin rapuh karena persatuan atau demokrasi. Namun itu adalah bentuk dari peradaban manusia, tanpa itu semua bagaimana kita bisa menyatu mendiami bumi dengan berbagai wajah dan budaya adalah kemustahilan adanya.
Satu jari adalah Syahadat, dua jari adalah Sholat sementara Tiga Jari adalah Zakat. Apakah bangsa ini mampu dor to dor ke rumah penduduk untuk menunaikan zakat dan shodaqoh kita semua. Inilah sekedar filosofi bagaimana manusia yang telah satu tujuan akan mensucikanlah tubuh dengan berpuasa hingga setelahnya yang terakhir akan mampu bisa menuju maqom Ka'bah atau Baitullah yaitu rumah Allah dengan kewajiban Haji sebagai kesempurnaan Islam. Bagaimana kualitas zakat nanti dalam era panjang selama lima tahun ke depan. Hanya Allah SWT yang akan menunjukkan jalan menuju kemenangan kelak. Apakah akan menjadi fitroh dengan Fastabikhul Khoirot kita, hanya di tangan bangsa ini bagaimana Syahadat dan Sholat kita mampu menunjukkan kualitas untuk melepaskan kesombongan dihadapan manusia dan bangsa lain setelah kita selesai dalam menunaikan zakat dan berpuasa. Bagaimana selama berpuasa dan setelahnya kita memakai Kopyah atau Blangkon tergantung kualitas Taqwa kita dalam menerjemahkan. Semoga upaya ke arah yang lebih baik adalah cerminan manusia yang Taqwa dalam kurun waktu menuju baldatun thoyibatun wa rabbun ghofur.
Air akan mengalir menuju jalan yang lebih rendah dari arah yang tinggi, namun air bisa memancar karena air telah di pompa dengan upaya damai dalam rotasi putaran per menit (rpm) yang stabil sehingga hanya dengan sudu-sudu air yang dilimpahkan bisa mengalir ibarat lepas dari ujung yang tinggi ke bawah. Semoga Baiti Jannati akan tercipta. Wallahu'alam Bishowwab.
Hasbun Allahu wa ni'mal wakil, ni'mal maula wa ni'man nasir.

Friday, July 11, 2014

Kopyah Presiden

Rambut adalah mahkota untuk menutupi kepala manusia yang seringkali jarang ditutupi kecuali memakai alat penutup yang terkesan keren dan trendi seperti mahkota, topi, helm dan tudung di sawah. Bagaimana bila sholat, tentunya fungsi rambut akan berbeda saat menghadap Allah SWT, dimana rambut yang menutupi dahi akan disibakkan dan tentunya dengan media kain atau yang lain. Terciptalah sorban kepala, peci/kupluk, mukena dan sejenisnya. Tapi jangan heran bila alat ini dipakai terus khususnya rambut bagian depan sudah aus alias plontos bin botak jadilah peci Kaji Muhidin sebagai alat bantu menopang awet muda.

Sejak perjalanan negeri ini banyak ulama, santri, pejuang, pejabat dan rakyat meletakkan simbol pada kepala mereka dengan ikatan kain. Upaya ini untuk memuliakan simbol dan penampilan mereka. Khususnya para ulama di tanah jawa, mereka mengenakan ikat kepala sorban untuk menjaga warisan leluhur yaitu para wali penyebar agama Islam di tanah jawa. Hingga muncul peradaban pemuda Indonesia yang bersekolah, mereka mengasah otak mereka dengan sebuah kopyah di kepala mereka, muncul seorang pemuda tangguh Soekarno yang setia dengan kopyahnya. Hingga Soekarno menghantarkan Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan. Sehingga Soekarno dengan gaya elegannya bergaul dengan masyarakat dunia menggunakan kopyahnya. Simbol inilah yang membawa nama dan bangsa Indonesia di segani di seantero jagat. Apakah kopyah ini menjadi simbol kejayaan Soekarno? Jawabnya adalah apa yang ada di kepala Soekarno yang menjadi tumpuan bangsa Indonesia sejak dahulu hingga sekarang.

Muncul para ulama berjas dan berdasi di wilayah Jombang ikut menghiasi peradaban tanah air, sehingga lahir perbedaan persepsi antar ulama saat itu yang umumnya ulama atau kyai memakai sorban ikat kepala sebagai media yang terbaik dalam bersyiar. Tampil KH. Wahid Hasyim sebagai pelopor ulama berkopyah, berjas dan berdasi menjadi Menteri Agama RI. Hingga masa KH. Musta'in Romli yang giat dan setia kepada pemerintah untuk memajukan pondok pesantren demi kemajuan bangsa. Sehingga muncullah seorang pemikir besar KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur hingga sampai beliau menjadi Presiden RI dengan gaya berkopyahnya yang khas.
Perjalanan Soekarno memakai kopyah telah menginspirasikan anak bangsa sebagai penerus perjuangan kemerdekaan sebagai simbol dalam foto Presiden dan Wakil Presiden.
Namun yang menarik penulis kemukakan disini adalah sebuah pola untuk sebuah kesuksesan menuju jalan memakai kopyah Soekarno atau istilah polemiknya berebut roh Soekarno dalam ajang Pilpres 2014. Menarik penulis telaah dengan pola fikir sederhana yaitu perkembangan pemilihan Presiden sejak awal yaitu sepak terjang Calon terkuat yang di usung masing-masing partai. Kita lihat Prabowo dengan gaya khasnya memakai topi berganti dengan kopyah menambah kewibawaan sampai ke surat suara dalam Pilpres. Sementara demikian pula dengan Jokowi dengan gaya kemeja kotak yang mencerminkan pola terstruktur plontos tanpa topi dan kopyah mendadak mengenakan jas dan berkopyah namun pada gambar surat suara tanpa kopyah.
Yang penulis garisbawahi adalah pola politik yang dikemas Jokowi untuk pemenangan Pilpres. Dia mensimbolkan kopyah dan jas dengan pola figur yang kompleks yaitu Gus Dur. Masih ingat saat Jokowi diberi sebuah kopyah milik Gus Dur bagaimana simbol ini melekat menjadi daya tarik PKB untuk bergabung bulat sebagai partai pengusung. Namun saat berdebat Capres dan Cawapres kedua pasangan yaitu Jokowi dan JK mengenakan jas tanpa berkopyah. Sementara dengan gagah Prabowo mengenakan simbol negara sebagai bentuk dan tekad yang kuat sebagai Soekarno muda pembawa perubahan.
Menarik penulis kemukakan saat sebuah surat suara telah tergambar dengan jelas bagaimana Jokowi dan JK menanggalkan kopyah padahal JK seorang Islam yang taat. Sebuah moderasi politik yang rapi dan brillian. Secara implisit Jokowi telah mengenakan kopyah pemberian Gus Dur sebagai lambang Soekarno. Dan secara nyata saat pencoblosan tanda gambar pada surat suara Jokowi menanggalkan kopyahnya demi rakyat Indonesia di jaman sekarang yang plural dan nasionalis. Dan tak ayal lagi tanpa berfikir panjang rakyat mengacungkan paku untuk mencoblos tanda gambarnya. Akankah keteladanan dan kesakralan Soekarno, Gus Dur akan membawa pemimpin bangsa sebagai umaro memakai kopyah akan terdeksi pada pemimpin bangsa era 2014-2019. Kita akan menyaksikannya pada final Pilpres tertanggal 22 Juli 2014.
Semoga rakyat Indonesia mempunyai jiwa patriot yang akan menerima kekalahan dan kemenangan dengan bahasa sejati yaitu bahasa Persatuan Indonesia bagi seluruh rakyat Indonesia. Negara ini telah jauh merdeka dan akankah negara ini meninggalkan peradaban yang beradab dan menggelar sebuah kemunduran peradaban. Kata Baldatun Thoyibatun Wa Robbun Ghofur adalah sajak terindah yang mencerminkan masyarakat Madani bukan masyarakat egois dan anarkhis.
Wallahu'alam Bishowwab.

Allahumma shalli wa sallim ala sayyidina muhammadin qad dhaqat hilati adrikni ya rasulallah

Penulis,
Chie Zhoen

Friday, July 4, 2014

Mentari berpijar rembulan

Ada banyak pertanyaan dalam benak, kenapa kita membuat orang lain mau berbuat untuk kita. Jawabnya juga akan sama dengan yang dibenak adalah bagaimana kita akan memulai perbuatan kita untuk orang lain dengan melepaskan untung dan rugi. Semua adalah milik Allah dan akan kembali kepada_Nya. Segala yang kita lakukan semua atas pertanyaan dan do'a yang selalu kita panjatkan kepada Allah SWT. Dan jangan lupa apa yang sudah kita upayakan adalah hasil yang sudah kita lakukan sekuat hati untuk mendapatkannya. Jika ada pertanyaan susulan tentunya masuk dalam kotak dialog dengan Allah SWT pada kurun dan waktu yang berbeda. Manakah yang akan anda dahulukan dalam agenda pertanyaan dengan Allah SWT ke depan ?

Jika manusia mau berlaku jujur, apa yang sudah kita miliki untuk mendapat kedekatan Allah SWT ? Apa dengan melakukan semua keraguan dan kegalauan sehingga saat itu berkesempatan mendekati_Nya. Atau upaya lain karena terpaksa tidak punya jalan keluar atas semua keputusasaan kita. Jawabnya adalah semoga insyaallah hidup kita selalu berupaya berjalan walaupun turun naik jalan yang dilalui bila itu ada akan sampai pada tujuan yang jelas.
Seringkali kita berjalan bahkan berlari bahkan pula terbang saat kita dalam rengkuhan rembulan namun siang telah memanaskan urat nadi kita tanpa terasa. Harapan yang di angan dan di doakan dengan rintihan hati dan uraian air mata di hembusan udara malam dan sinaran rembulan separoh telah sirna dengan teriknya sinar matahari.
Jadilah antara harapan menyimpang dari kenyataan yang ada, akhirnya hati kita kembali tergores sayatan pisau secara berulang. Lumrah apabila harapan tidak sesuai akan kenyataan. Bila keterbalikan, antara harapan dan kenyataan selalu sama bahkan lebih baik dari harapan dengan kenyataannya, yang terjadi adalah kita selalu menumpuk jiwa takabur hingga menjadi tambahan karakter sombong kita selalu hadir dalam menatap orang lain.
Yang kurang dirasakan kita adalah bagaimana sifat kita selalu menjadi nomor wahid kurang mengerti dan mendengarkan kata hati orang lain, kurang empati dengan ide orang lain, selalu apatis dan enggan diajak kompromi, suka menjalani hidup dengan belaian materi tanpa peduli semua orang tidak pasti bisa membelinya. Dan semua hal yang membuat hati kita tersanjung dan melupakan asahan dari bisikan qolb.
Inilah warna manusia bila rembulan tidak mampu menyinari dan sinarnya tidak mampu menembus qolb kita karena terkena panas terik di siang hari. Ataupun sebaliknya tidak mampu merasakan terkena siksa mentari dengan keringkat berjatuhan percuma tanpa menuai arti yang nyata. Mendapat harta berlimpah dengan cucuran air kelelahan kita namun raib secara pelan ibarat hujan sehari mengapus panas terik selama setahun. 
Bisa juga tidak bisa membedakan antara sinar rembulan dan ganasnya matahari, sehingga siang dianggap malam dan malam dianggap siang. Mencari rezki tak melihat siang dan malam, siang berganti malam dan malam dianggapnya siang, badan tak dirasa hati tak dipegang yang ada adalah upaya untuk kenikmatan jiwa demi sesuap nasi yang sudah menjadi bubur (kata orang). Mencari rezki menghalalkan segala macam cara seolah dunia milik dia sendiri. Itulah manusia dengan segala bentuk tipu daya sendiri untuk menjerat orang lain.
Yang terbaik adalah berlaku welcome terhadap perbedaan. Perbedaan warna kulit, perbedaan aqidah, perbedaan strata, perbedaan kualitas, perbedaan pola fikir, perbedaan tebal dan tipisnya kantong, perbedaan rasa. Semoga kita lebih bijaksana.
Wallahu'alam Bishowwab

Hasbunallah wani'mal-wakîl, ni'mal-mawlâ, wani'man-nashîr

penulis,
Chie Zhoen

 
back to top