Monday, December 8, 2014

Taqwa, Cerdas dan Terampil digubah menjadi K-13

Ungkapan manusia dalam polemik pendidik dan pendidikan adalah diorama yang menyebalkan, kenapa demikian? Karena manusia suka membangun dan yang lebih disukai lagi seorang manusia adalah suka merusak. Merusak dengan dalih perubahan, merusak dengan imbalan kesejahteraan, merusak dengan ungkapan apatis, merusak dengan ungkapan reformasi bahkan ungkapan dengan istilah revolusi. Ungkapan yang akan menaikan nama baik seolah siapa yang berjuang dan siapa yang tidak pernah atau jarang-jarang ambil bagian dalam perjuangan. Dan muncul kembali pertanyaan bahwa siapa yang pantas dan paling cerdas dan siapa yang menyimpulkan dan penuh dengan kebaikan dalam perjuangan dan memunculkan ikon PAHLAWAN.

Guru-guru kita yang telah mendidik kita telah perjuang dengan penuh kedermawanan, penuh dengan sumbangsih yang besar, penuh dengan olahan aklahk yang manusiawi dan penuh empati. Penuh dengan semangat panyang menyerah. Penuh dengan deraian air mata. Penuh dengan polemik kesenjangan dan segumpal nasi untuk dimakan dua hari. Pengajar yang meninggalkan jejak kepahlawanan berjuang dengan sepatu yang lusuh dan baju yang ala kadarnya rapi dipakai dalam setahun. Pengajar yang kesehariannya bergulat di sawah ketika petang pulang dan pagi harinya bergegas dengan tas robek bersepeda onthel menemui murid-muridnya yang sudah siap di jalan-jalan menuju kelasnya. Pengajar yang tidak mau disebutkan namanya sebagai GURU. Pengajar yang mengabdikan hidupnya untuk keutuhan murid-muridnya supaya tidak drop out. Menjaga keutuhan ekosistem sekolah, mengabadikan torehan dengan kapur.

Kita amati jaman yang telah goyah ini, pengajar penuh dengan kemewahan. Apalagi yang notabene sudah PEENES. Semua sudah sangat sejahtera, gaji yang dirasa cukup bila BBM tidak naik. Dan dicukup-cukupkan untuk kebutuhan selama sebulan dengan tanpa lambaian awan yang mendung. Recehan yang siap dipakai habis saat masuk Toserba bertemu murid-muridnya yang bergandengan tangan dengan pacarnya. Dan sekelumit imitasi kehidupan seorang pengajar di jaman ini yang sangat menggairahkan. Naungan kehidupan seorang guru yang selalu dipanggil (RU = jawa). Seolrah pandangan yang sangat sakral yang menunjukkan kemampuannya sebagai wahana kebaikan dan keilmuan. Apakah semua ini mnejadi alibi bawah seorang guru bukan seorang malaikat? Seorang guru adalah manusia biasa yang rentan dengan kelemahan dan kegalauan. Penuh dengan polemik hidup seperti kebanyakan manusia biasa, selepas pegang spidol sorenya pegang gagang pacung di sawah. Manusia yang ingin dianggap sederhana oleh yang lainnya untuk kebaikan diri.
Tenggoklah bagaimana pola yang sudah matang dengan bidikkan TAQWA, CERDAS dan TERAMPIL sudah digaungkan dahulu kala saat penulis masih di bangku sekolah. Bagaimana pola pendidikan di kala itu sudah sangat dramatis hingga mampu memunculkan profesor dan doktor. Bagaimana guru di jaman itu sudah mengenal kebinekkaan dan keberagaman interaksi manusia dalam pola agamis, pengetahuan dan keterampilan. Dengan teknologi yang sangat pelan untuk mengatur kenyamanan dialog dengan peserta didik. Bagaimana sulitnya menerjemahkan pola fikir anak dengan guru. Merekapun sudah penuh dengan alibi yang kuat hingga kurikulum yang diluncurkan sudah cukup efektif untuk menggauli murid-muridnya dengan kemenangan dan prestasi yang nyata.
Jaman ini telah merubah Cerdas menjadi Pengetahuan, Terampil menjadi Keterampilan dan Taqwa diolah menjadi Aspek Sikap dan Sosial. Ironisnya adalah bagaimana jeda antara iklan dan film menjadi penentu keberhasilan kita selama proses itu. Jawabnya adalah bagaimana menerapkan manusiawi, empati dan kemegahan menjadi aspek yang urgen untuk kemajuan dan kemashuran. Guru bukan dikataktor yang harus menanamkan sebuah karakter nilai dalam skor, namun obyektifitas nilai bukanlah penentu dari kualitas seorang pelajar. Olah pola fikir yang menjadikan mereka merasa menjadi pribadi yang mampu berkarya. Bukan berbagai tugas melelahkan yang justru mengesampingkan nilai dan membosankan. Sedikit tugas dan penialian yang bermakna sama halnya telah mencapai kualitas dari kompetensi dasar yang diharapkan. 
Kita tengok silabus dan buku paket atau referensi banyak yang tidak sesuai kompetensi dasarnya, bahasa baku yang digunakan di silabus jauh dari kualitas standart prosedur dari yang ditentukan, analisis siswa sebatas pemakaian media yang kuran relevan dengan kondisi lingkungan, keberadaaan sarana yang kurang sinkron dengan budaya silabus dan kompetensi. Dan masih ada segelintir simpang siur antara hak dan kewajiban murid dan guru. Cobalah di revisi dengan bijaksana karena anak bangsa ini adalah semboyan untuk negara yang akan maju dalam era yang baru.
Semoga kita bisa meraih kebenaran dalam mengolah peserta didik bukan orang tua yang selalu disibukkan dengan PR anak, sementara anak-anak kita melepaskan bermain demi brwowsing di internet yang mengggiurkan.
Anak bangsa adalah elemen yang sangat berarti demi kemajuan bangsa dalam segala bidang. Harga yang sangat mahal apabila kita jadikan mereka kelinci percobaan yang harus merasakan ketidakyamanan dan jauh dari harapan cita-cita mereka.

penulis,
Chiezhoen

No comments:

Post a Comment

 
back to top