Monday, December 1, 2014

GURU DRONA

Berbagai macam polemik muncul dalam setiap benak manusia. Yaitu bagaimana manusia bisa menjadi manusia yang faseh menciptakan kenikmatan dan akan dibawa kenikmatan tersebut dalam alam akherat. Maksudnya adalah manusia yang seperti apa yang perlu diciptakan di dunia sebagai wujud kelengkapan bumi dan seisinya.  Saat muncul pertanyaan seperti ini akan banyak karakter yang menerjemahkannya. Kenapa penulis bilang karakter, karena manusia tidak lepas dari karakter aslinya menelanjangi setiap nafas yang menaunginya. Setiap manusia berbeda dalam setiap gerakan hidupnya. Dan semua akan bersumber dari bagaimana dia berakhlak dan beraqidah. Aqidah yang benar atau yang sesat semua akan kembali pada kualitas keyakinan yang dimilikinya. Dan ini akan membentuk karakter yang berbeda satu sama lain. Bahkan ironisnya setiap karakter ini akan memutarbalikkan keyakinannya dengan ditopang ego dan perangainya bukan aqidah yang membelenggu akhlak namun akhlak yang menuntun kebiasaan beribadah, bermuamalah dan beraqidah.

Apakah semua sudah mencerminkan kepuasan sebagai manusia? Jawabnya adalah dari siapa kita dibentuk. Oleh wadah apa kita dibesarkan. Bagaimana proses pendewasaan kita selama ini. Untuk siapa semua yang kita lakukan. Bagaimana tolak ukur semangat hidup kita dalam koridor super ego. Siapa yang kita panuti. Akankah kita bisa kembali berubah.
Semua pertanyaan akan muncul dalam benak siapapun untuk menyimak celah pemikiran dari masa ke masa, dari waktu ke waktu dan dari wajah ke wajah. Perjalanan hidup review ulang untuk menemukan kembali jatidiri dan biografi kita menjelang dan selang menurunnya usia. Akankah semua bisa terjawab? Tentunya kembali kepada kesabaran kita dalam menerjemahkan perjalanan hidup kita dari awal hingga saat sekarang ini.
Banyak momentum yang menjadikan perjalanan wajah kita menjadi dewasa, dewasa karena sebab akibat, dewasa karena dipaksakan oleh sebab, dewasa karena harus memaksakan diri demi meneruskan hidup, dewasa yang terbentuk oleh peradaban dan pergaulan, dewasa yang digebiri oleh orang tua kita, dewasa yang dituntun oleh pasangan hidup kita karena tertekan, dewasa yang mutlak karena impian dan ambisi kita, dewasa yang muncul karena faktor tidak disengaja dan berbagai bentuk kedewasaan yang menjadikan kita dewasa (gede dawa lan rosa = jawa).
Dari siapakah kita menjadi sampai seperti sekarang ini. Pertama adalah nikmat dari Allah SWT yang menghidupkan kita. Kedua, dari orangtua kita yang telah melahirkan, mendidik dan membesarkan kita. Ketiga, dari pengajar (ustadz/guru) yang telah menyampaikan keilmuannya demi perjalanan hidup kita. Keempat, dari nasib kita yang telah menjerumuskan kita menjadi manusia seperti sekarang ini. Dan akhirnya Kelima adalah kita akan kembali pulang ke pangkuan Allah SWT dengan kemampuan kita selama hidup di dunia.
Orangtua dan guru adalah hakekatnya sama, bagaimana menghormati orangtua kita, jelas setelahnya mampu menghormati guru-guru kita. Seperti apa kita memperlakukan orangtua nantinya juga kita bisa menjadikan guru kita simbol kebanggan. Saat mencurahkan kasih sayang kepada orangtua hakikatnya kita jelas akan mampu memberikan kebahagiaan kepada guru-guru kita dengan berlaku bijak dan patuh. Bagaimana kita membentuk kematangan dari orangua kita jelas kita mampu menjadi guru sebagai suri tauladan peserta didik.
Dalam peran wayang masih ingat seorang guru, yaitu Guru Drona sebagai wajah atau wujud untuk mewujudkan kematangan seorang penerus peradaban Kurawa dan Pandawa. Yang dikisahkan bagaimana dia mewujudkan impiannya menjadikan anaknya seorang yang punya martabat tinggi dan upaya apapun bisa dicapai walaupun dia adalah wujud seorang guru. Sehingga antara kecintaan dan umat menjadi kesamaan kenikmatan namun dalam kenyataan jauh dari persamaan. Jadilah pribadi yang lemah dalam budaya untuk kemulyaan dan empati. Dalam perjalanan Guru Drona adalah perwujudan kualitas seorang yang mumpuni dalam keilmuan sejati, namun dia adalah sama seperti yang lainnya yaitu seorang manusia biasa. Dia terlena dan tak tak berdaya karena cinta akan putranya Aswatama. Dalam gerak hidup dan semangat hanya putranya pembawa kabar gembira. Dalam pemahaman Islam anaknya menjadi fitnah dalam kehidupan nyata dan tak berdaya untuk menggapainya.  
Muncullah wujud guru yang ada di Negara kita. Bagaimana para ulama memberikan wejangan demi kemerdekaan dan kesejahteraan Indonesia. Dan sampailah pada saat yang berbahagia kita mengalami jaman kemerdekaan sampai saat ini.
Namun, perjalanan waktu terkadang jauh dari sempurna. Bagaimana guru yang ada di Indonesia menjadi publik figur untuk menyejahterakan putra putri anak bangsa ini penuh lelah. Sarat dengan naik turunnya perjuangan dalam alam yang penuh kemerdekaan (katanya). Guru di jaman ini berbeda dengan guru pada masa perjuangan melawan penjajah. Guru di jaman ini justru berjuang mengangkat spidol untuk mencorat coret siswanya dengan spidol putih untuk membasuh kotoran oleh imbas asap kendaraan. Dari bisingnya kemajuan dan teknologi yang membuat carut marutnya peradaban. Dari harga BBM sampai harga lombok di pasar. Dari kebisingan dibuai dengan wewangian sampai dibuai oleh supermarket dan mall. Dari kebisingan berkebutuhan konsumtif sampai hidup hedonis dan apatis. Dan berbagai anugrah dari jaman modern ini yang membentuk karakter yang dikatakan peserta didik.
Sehingga kesimpulannya bagaimana menjadi guru di abad ini? Jawabnya adalah ibarat dalang yang biasanya pegang wayang dengan tangan terbuka, bagaimana dalang harus memegang wayang dengan tangan dan kedua kakinya. Bagaimana guru di jaman ini harus bisa merubah asuhan kepada siswanya karena jamannya telah berbeda, berbeda saat dia masih sebagai murid dahulu.
Semoga nasib guru menjadi bagian nasib bangsa ini, sehingga perjuagan guru akan selalu dihargai sepanjang hayat masih dikandung badan.
Wallahu'alam Bishowwab
penulis,
Chie (Muhshonu Rohman)

No comments:

Post a Comment

 
back to top