Sunday, August 17, 2014

Tujuh Belas Agustus

Enam puluh sembilan tahun bangsa ini sudah lepas dari penjajahan negara asing. Rakyat sudah lama merdeka dalam beberapa keturunan bergulir, tinggal sekarang saat ini kita yang mengisinya. Bagaimana bentuk pengisian kemerdekaan yang telah membawa bangsa ini bisa memilih Presidennya. Bisa memiliki banyak pusat perbelanjaan sehingga mau makan enak dan tidur nyenyak adalah sebuah harga mati yang telah bisa dirasakan semua rakyat. Rakyat siapa? Tentunya rakyat Indonesia yang sudah sangat cerdas dan cendekia, selalu mampu menerjemahkan semua yang akan terjadi dan sudah terjadi seperti paranormal. Itulah yang berkecamuk dalam benak kita semua. Semua ingin menjadi terkenal, semua ingin menunjukkan kepiawaiannya menjadi bangsa dan rakyat yang besar hingga lupa apa arti sebuah kemerdekaan itu sendiri.

Beragam rasa ingin disatukan dalam kesatuan tujuh belas agustus. Ingin menyatukan semua rasa dalam rasa yang sama yaitu nasionalis. Apakah mampu? Jawabnya adalah bagaimana jiwa nasionalisme masih ada dalam dada semua rakyat, pasti sebuah rasa kebangsaan dalam ranah merdeka masih bisa didengar dan bukan hanya dentuman mercon bersautan yang selalu dikedepankan. Rasa itu adalah bagaimana menyatukan satu pemimpin untuk wajah polos Indonesia dalam era panjang era visio terapi dalam jaman perang teknologi. Bukan warna dari saling olok dan dengki dalam usungan kepentingan dan ambisi. Saling olok etnis dan agama bahkan dalam satu agama. Adalah sebuah pemandangan dalam kemunduran dari usia kemerdekaan itu sendiri. Inilah sebuah warna lain Indonesia yang akan berjuang kembali setelah merdeka yaitu perang kemerdekaan.
Perang dengan bangsa Asing yang mencoba menjajah kembali dengan ideologi dan kultur terapi yang pragmatis. Sebuah peradaban yang akan membawa bangsa ini menjadi bahan gunjingan karena kebodohan kita sendiri setelah merdeka selama 69 tahun. Bagaimana tidak bodoh, kita membuka kebodohan ini terbuka lebar, arogansi politik, pola pragmatis kultur, degradasi agama, krisis demokrasi, dekotomi teknologi, kepuasan struktural sampai pada paham korupsi berjamaah dan legalitas institusi. Semua makna yang aneh sudah merambah dalam wadah merdeka. Hingga pemilihan Presiden menjadi ajang menonjolkan berpolitik dengan bersih dan jujur (katanya). Inilah warna Indonesia dalam alam terbuka setelah jaman Reformasi. Sehingga, apa kata dunia, apa kata pejuang kita tempoe doeloe yang berikrar satu bangsa untuk kemerdekaan. Berkikrar menjadi bangsa yang besar. Dan ternyata kita memang bangsa yang besar yaitu besar kepulauannya. Besar ambisinya untuk saling berebut pemimpin atau figur contoh. Sementara anak didik kita banyak yang keleleran tidak masuk sekolah, sekolah sering mbolos, remidi berkepanjangan, tidak ada sopan santun. Dan wujud ketidakjujuran kita selalu kita tonjolkan dalam ornamen riasan dalam bentuk pawai TUJUH Belasan. Dan ternyata hanya bohong dan isapan jempol belaka pada rutinitas kesehariannya.
Semoga kita cepat tersadar sebelum terlambat menjadi bangsa besar yang bisa jadi akan kembali kecil dan lenyap terjajah kembali.
Hasbunallah wani'mal-wakîl, ni'mal-mawlâ, wani'man-nashîr
 
Wallahu'alam Bishowwab.
penulis,
Tjie Zhoen

No comments:

Post a Comment

 
back to top