Saturday, June 22, 2013

Raport Masa Depan

Banyak hal yang di ukur dengan skor atau nilai, khususnya yang berhubungan dengan konsep komunikasi antara pendidik dan peserta didik. Tolak ukur nilai adalah jembatan menuju komunikasi verbal antara teori, praktek dan unjuk kerja secara total. Banyak hal yang membuat titik jenuh sebuah kolaborasi antara keseimbangan satu sama lain. Untuk apakah sebuah nilai dimasukkan dalam uji materiil kemampuan peserta didik. Jawabannya adalah untuk mengukur kemanfaatan dari sebuah materi dalam kurikulum yang harus dikuasai untuk kemajuan dan kematangan pola fikir dan keterampilan anak. Standart Kompetensi dan Kompetensi Dasar sebuah pola pembelajaran dalam lingkup sekolah yang tertuang dalam sebuah paket kurikulum adalah gambaran mengenai maju dan mundurnya akan pemahaman disiplin ilmu. Bagaimana anak bisa mengalami sebuah kematangan setelah sekian banyak pelajaran diperoleh?. Jawabnya adalah seberapa urgennya bentuk kemanfaatan untuk perkembangan otak dan spiritual peserta didik untuk merubah afeksi ke arah lebih terstruktur. Banyak sekali skor atau nilai dijabarkan namun hanya melahirkan anak-anak jauh dari pola fikir bertahan dalam disiplin ilmu yang telah dicapai. Yang ada adalah si anak adalah kertas yang penuh dengan muatan setelah di isi sauh yang banyak dari pengajarnya. Dan bingung untuk apa nilai yang telah dicapai apakah sesuai dalam penerapan setelahnya.

Sementara kalau di telaah hasil terakhir pendidikan dalam sebuah lembaga sekolah adalah nilai. Setelah sekian lama belajar dalam kurun semester sampailah batasan dalam sebuah nilai pencapaian. Dan apabila nilai yang dicapai dalam kurun waktu semester tidak mencapai batas KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) maka dinyatakan bahwa peserta didik tersebut belum kompeten dalam materi tersebut. Sehingga dinyatakan peserta didik harus menjalani "remidi". Lain lagi apabila bentuk pencapaian 'remidi' terjadi kalau peserta didik justru tatap muka dengan guru sangat kurang ibaratnya sekolahnya seperti 'puasa' alias berangkat sekolah senin kemis. Alkisah, jadilah anak yang di remidi saat boomingnya sekolah mereka tidak berangkat, saatnya liburan sekolah malah mengajak gurunya sekolah alias sekolah di musim 'liburan'. Sungguh sangat menarik perkembangan pendidikan di Indonesia dalam basuhan Teknologi yang semakin pesat dengan glamournya uang yang berserakan hingga BBM melonjak parah. 
Ini adalah bentuk nyata mengapa pendidikan jarang sekali melahirkan anak yang punya karakter menjadi pemimpin. Karena mereka terbiasa tersanjung dengan nilai yang baik atau sebaliknya frustasi dengan remidi yang berkepanjangan dalam sekolah. Sementara gurunya penat dengan polah tingkah peserta didik yang keluar rumah masuk ke sekolah dan sekolah tersebut dianggapnya padang rumput yang luas. Guru juga disibukkan dengan berbagai aturan Penyelenggara Pendidikan (Yayasan)  yang selalu memberikan motivasi atau "pembinaan" tanpa titik koma alias seperti sholat lima waktu, rapat tanpa henti dengan tujuan dan arah yang kurang jelas. Sebuah dilema dalam metodologi pembelajaran pendidikan yang jauh dari unsur tongkat estafet kepercayaan. 
Harusnya dimengerti bahwa menyelenggarakan komunikasi secara aturan 'jasa' adalah bagaimana pelanggan adalah sebuah media yang rapuh dengan unsur kekuatan dan uji meteriil. Apabila media tersebut dipanaskan dan ditarik akan patah, juga bila media tersebut dipukul akan hancur. Solusi yang tepat adalah perubahan budaya, dimana budaya yang membangun dan berhati nurani yang mampu menjaga iklim dan ekosistem kondusif sehingga akan melahirkan peserta didik biasa saja namun mempunyai kemampuan luar biasa dan siap kompetisi di luar. Bukannya satu dua orang mendapat juara sementara seribu teman lainnya tawuran di pasar, satu orang mengangkat sekolah seribu orang merobohkan sekolah.
Marilah menjadi lembaga yang siap menjawab pertanyaan pelanggan apabila pelanggan tidak merasa puas akan pelayanan kita semua. Dan hendaknya misi dan visi pendidikan harusnya sinkron dengan deskripsi tugas masing-masing penyelenggara pendidikan yang akan melahirkan sistem yang akurat berjalannya bukan lembaga yang seolah besar namun lemah dalam hati nurani bahkan kropos dengan kemajuan.
Raport yang diperoleh oleh peserta didik adalah gambaran dari raport yang diperoleh untuk guru oleh penyelenggara pendidikan atas semua ketidakpercayaan atas jerih payah pendidiknya setiap saat. Inilah mata rantai yang akan terulang terus sepanjang jaman bila sinkronisasi hubungan sebab akibat tidak mau dirubah.
Inilah mengapa setiap peserta didik hendaknya mampu menilai dan sadar akan nilai yang telah dicapai bahkan bangga akan sebuah 'remidi' yang dicapai, karena jelas bahwa 'remidi' tersebut adalah jalan menuju keyakinan baru untuk perubahan afeksi menuju yang lebih baik. 
Wallahu'alam Bishowwab.
penulis,
chiezhoen

No comments:

Post a Comment

 
back to top