Friday, January 25, 2013

Untuk sebuah nama

Mursyid, ustadz, guru atau apapun sebutannya, sebuah warna yang menunjukkan hitam dan putih warna dalam ritme kehidupan manusia. Banyak sekali kalangan yang menilai bahwa ungkapan tersebut mengandung falsafah yang luas dan tinggi. Makna tersebut akan melahirkan sebuah ornamen yang mutlak/wujud dari latar raut muka berbagai bentuk manusia di masyarakat dan bangsa. Kultur peribahasa yang tepat pada pendekatan tersebut adalah "gajah mati meninggalkan tulang manusia mati meninggalkan nama". Mata hati kita terbentuk dengan tahapan yang di olah dengan sengaja ataupun mendekati yaitu kisah hidup kita akan berawal dari itu semua. Nama manusia terkenang saat dia telah tiada, saat hadir bersama kita semua yang ada hanya iri dan dengki serta aniaya. Akankah selama ini kita menyadarinya kalau kehidupan kita sudah semakin jauh dari kedekatan itu?. Yang ada adalah dengan berjalannya waktu kita sudah sangat jauh dalam warna silaturahmi dengan mereka semua. Dengan berbagai kesibukka ataupun memang enggan untuk kembali ke masa lalu. 

Tenggok sebuah istilah tersebut. Bahwa pada jaman yang serba uang sekarang ini, istilah tersebut sudah jauh dari renungan apalagi lirikan ataupun teguran. Saat bertemu mereka dahulu, jelas banyak sekali hal yang kurang menyenangkan terjadi. Umumnya kedekatan antara pelajar dan gurunya, antara santri dan ustadznya, antara umat dan mursyidnya adalah bentuk testimoni yang naik turun. Kedekatan mereka adalah saat bersama dalam ruang kelas, pendopo ataupun aula. Khusyuk mendengarkan yang diucapkan dan larut dalam sentuhan ilmu yang dalam (walaupun sesekali mereka mencibir dari belakang punggung) itulah seni mencari ilmu. Namun banyak sekali hal yang membuat kita pro dan kontra terhadap mereka semua, hanya karena sebuah aturan untuk patuh terhadap mereka. Kita sering mencemooh bahkan sampai sekarang masih terasa. Bahkan tak jarang kita selalu menghardik, membantah bahkan berduel dengan mereka. Pemandangan ini adalah bentuk ornamen masa dalam sebuah masa yang memang layak terjadi.
Kita sudah melepaskan masa demi masa tersebut. Sekarang kita telah dewasa, sudah mengerti akan pahit getirnya hidup. Kenyang akan semangat dan petuah, lahirlah kita sebagai manusia baru yang lepas dari pangkuan mereka. Akankah apa yang baik yang diutarakan mereka semua terbawa dalam sanubari setiap saat. Yang ada adalah jiwa kita yang semakin keropos dengan beranjaknya usia. Keropos dan miskin ilmu, karena hanya harta yang selalu menjadi tolak ukur sebab akibat dalam kehidupan kita sekarang. Beranggapan bahwa ilmu bisa terbeli dengan uang dan glamournya dollar dan lupa akan karakter kita yang ternyata masih stagnan sebagai seorang peserta didik/pelajar/santri. Kita maju empat langkah namun hakekatnya mundur ke belakang delapan langkah. Sekarang kita bergelimang harta sementara guru kita masih sederhana dalam hidup sehari-hari. Indah dipandang mata tak nyaman dirasakan mungkin ungkapan yang lebih tepat dalam lantunan syair yang sendu.
Semoga kita menjadi pribadi yang mudah memberikan ucapan terima kasih kepada siapapun yang telah memberikan warna ilmu dalam super ego kita sehingga menuntun langkah kita untuk menjadi manusia yang penuh kedewasaan. Guru kencing berdiri murid kencing berlari, sebuah istilah yang sering diplesetkan menjadi guru kencing berdiri murid mengencingi gurunya. Semoga amal kita semakin menumpuk dari dahulu sampai sekarang dan akan dinikmati menjadi keindahan oleh anak turun kita. Bahkan akan menjadi intan berlian dalam rahmat Allah SWT di akherat kelak.
Wallahu'alam Bishowwab. 
laa ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minalzhaalimiin
penulis,
Chie Zhoen

No comments:

Post a Comment

 
back to top