Saturday, August 4, 2012

Guru dan Orangtua

Udin : "Yah minta uang jajannya?.."
Ayah : "Itu minta sama Ibumu"
Udin : "Buu... biasa uang jajaan alias fuluuz mamake, biar bisa mikir di sekolah"
Ibu    : "Yaa. Ini 5 ribu saja, jangan dihabiskan sisanya buat ditabung"
Udin : "Yaa.. okelah. Assalamu'alaikum.."
Ayah : "Wa'alaikumsalam Warohmah"
Ibu    : "Wabarokatuh"


Siklus dialog yang sering dilupakan banyak orang namun justru berjuta kali dilakukan setiap harinya. Sebuah komunikasi verbal yang menggambarkan nuansa kontrak antara anak dan orangtua dalam balutan pendidikan. Apa yang bisa diambil dari contoh dialog di atas. Inti kalimat yang penulis kemukakan adalah menggambarkan karakter pendidikan orangtua yang menimbulkan umpan balik dari anak dan orangtua yang menimbulkan jatidiri mengapa nuansa formal belum bisa terbentuk namun membuahkan kematangan diri si anak. Ada super ego orangtua yang masuk ke sanubari si anak walaupun kecil namun menumbuhkan semangat untuk bertanggungjawab.
Bagaimakah nuansa alam ketika anak tersebut berada di sekolah?. Jawabannya adalah tidak ada sinkronisasi yang berarti saat anak tersebut masuk lingkungan sekolah. Uang jajan tidak berarti dihabiskan untuk jajan karena lelah dimarahi oleh gurunya. Atau uang jajan raib, masuk kelas hanya 2 jam pelajaran sisanya melihat burung di pasar alias mbolos sekolah. 

Pendidikan formal di sekolah bertujuan membentuk manusia yang mempunyai kemampuan pengetahuan, kemampuan mematangkan sikap dan kemampuan kreatifitas atau kecakapan hidup (life skill). Bentuk nyatanya adalah anak sekolah akan memiliki wawasan kelimuan yang homogen, memiliki sikap yang berbeda dengan anak jalanan, mempunyai kecakapan hidup yang beragam sesuai kemampuan diri masing-masing. Intinya pola fikir akan berbeda saat berinteraksi dengan warna lain dari lingkungannya. 

Warna yang dimunculkan disini adalah bagaimana pendidikan yang ditanamkan orangtua bersinergi atau searah dengan wahana yang diatur oleh aturan sekolah. Bagaimana pola asuh sekolah mampu merubah kebiasaan anak di luar jam sekolah (rumah atau lingkungan) menjadi terarah dan terstruktur seperti di sekolah. Anak mempunyai agenda kehidupan dalam aktifitas waktu yang dijalani bukan hanya sekedar pulang sekolah mengerjakan PR dari sekolah dan sesudahnya istirahat atau tidur. Ini yang perlu penulis garis bawahi, bahwa nilai intrinsik yang tertanam pada diri peserta didik di sekolah mampu menjadi super ego yang menanamkan wawasan berbeda dari gaya hidup mereka di luar sekolah. Bagaimana karakter guru bisa masuk dalam benak si anak muncul sebagai wacana untuk perubahan sikap untuk semakin pandai dalam kecakapan hidup. 
Jawabnya adalah naluri. Naluri setiap orangtua yang tahu akan karakter dan kebutuhan si anak dalam kehidupannya di luar rumah (sekolah atau lingkungan). Naluri setiap sekolah yang bisa menjembatani komunikasi antara guru dan orangtua secara stagnase. Bertahap dengan sistem umpan balik yang masuk akal dan mudah dipahami oleh siswa dan orangtua. Siswa yang nakal dan susah sekolah hendaknya dihadapkan dengan satu pilihan pasti yaitu mau sekolah atau mau tidur di rumah tanpa baju seragam, tetapi dengan pendekatan verbal orangtua, guru dan siswa. Diberikan harapan bahwa hidup tidak hanya sekejap mata namun hidup juga penuh perjuangan dan waktu muda adalah gambaran saat tuanya kelak. Bagaimana memahami anak yang patuh di depan gurunya sementara dibelakangnya mengangkat jari tengahnya alias "fuck u" apa selalu dihukum atau bagaimana dan sebagainya. Bagaimana memberikan masukan yang tepat anak usia dini/TK dengan anak yang lebih dewasa (SD/SLTA) ke orangtuanya yang lebih harmonis. Sementara orangtua diberikan masukan jelas bahwa anak tidak hanya butuh uang jajan, uang sekolah atau bahkan istilah yang ngetrend dari nenek moyang dulu, "sekolah mur nggo buang bodho". Tetapi si anak di sekolah adalah butuh pembelajaran formal untuk wawasan di masyarakat kelak, sambil mencari keberuntungan hidup selanjutnya dengan bekal kecakapan hidup dari semangat ketika bersekolah. Hingga gambaran guru dan orangtua yang biasanya selalu bentrok masalah nilai dan sikap dari peserta didik atau anak akan kembali kepada si anak sampai dimana anak sudah makan genting sekolah dan genting rumahnya. Ataukah guru dan orangtua sudah kenyang dengan genting-genting mereka hingga tertidur pulas.
Kembalikan jatidiri sekolah, orangtua dan masyarakat sebagai nuansa yang akan membentuk karakter anak yang lebih baik dari orangtuanya. Bukan membentuk atau mewariskan karakter orangtua kepada anak-anaknya dengan copy paste jasad dan wajah, tapi nilai jual anak kedepan menjalani masa depannya sendiri dan tetap membawa nama baik orang tua tentunya. Kita hanya berharap namun juga tetap semangat dalam hubungan tersebut, bahwa semua akan menjadi indah manakala seorang pengajar menanamkan komunikasi yang tepat ke orangtua, semua akan berjalan baik manakala orangtua tidak membela anaknya ketika tidak masuk sekolah, semua akan menjadi lebih kondusif saat lingkungan memberikan harapan kepada anak-anak muda untuk memberikan kesempatan kepada yang muda untuk tampil menjadi figur yang lain dari generasi di atasnya. Dan semua akan manusiawi apabila unsur tersebut mampu berjalan sesuai aturannya apabila banyak kesadaran di sekitar kita.
Wallahu'alam Bishowwab.
penulis,
Chie Zhoen

No comments:

Post a Comment

 
back to top