Wednesday, September 26, 2012

Ketika anak sekolah berfikir

Saat anak sekolah memasuki pagi hari, yang terbayang di benak mereka adalah pagi ini mata pelajaran siapa, yang mengajar siapa, siapa lagi yang akan bertemu, pulangnya jam berapa dan sebagainya. Rasanya enggan untuk berangkat sekolah dan hampir 90% perasaan ini di hinggapi oleh seorang pelajar, yang ada mereka ingin suasana baru dari ekosistem sekolah. Suasana baru yang jauh dari hukuman, suasana baru yang jauh dari tekanan, suasana baru yang menyenangkan, suasana baru yang membuat hati senang. Kenapa bisa demikian? Jawabnya adalah wajar. Wajar karena jiwa dan karakter seorang yang masih muda enaknya adalah bersenang-senang tanpa mengenal beban dan penatnya pelajaran. Kenapa demikian lagi? Jawabnya adalah inilah anak Indonesia yang sering dicecoki oleh hal-hal yang berbau kebenaran dan fatamorgana. Setiap dari pelajar selalu ditekankan oleh gurunya sebuah kebaikan, kedisiplinan dan kepatuhan. Mereka jarang di ajak berfikir tentang sebuah analisa yang bebas tentang hak dan kewajibannya sebagai seorang yang masih muda dan berpredikat pelajar. Mereka jarang diberikan sebuah tanggungjawab yang membuat pola fikirnya berubah bahkan bisa menyebabkan perangai dan sikapnya berubah. Berbagai argumen, pendapat, pemikiran, bahkan sampai canggihnya kurikulum belum bisa dikatakan bisa menyejahterakan otak seorang pelajar untuk merubah dirinya sebagai manusia baru yang punya analisa ke arah yang sederhana yaitu menjadi pribadi yang santun dan cerdas.

Pola dan sistem asuh pada jaman ini khususnya di sekolah adalah seringnya menunjukkan sebuah contoh antara enak dan tidak enak, sukses dan gagal, lulus dan tidak lulus, hukuman dan reward. Sementara jarang sekali yang mencoba membina sebuah ekosistem yang maju. Maju dalam pola asuh anak yang mengedepankan pola fikir yang lugas. Memberikan kebebasan anak untuk berkreasi menuangkan ide dan gagasan dan sanggahan kenapa pola fikirnya selalu berubah-ubah sesuai iklim yang tidak menentu. Banyak anak yang setelah diberikan pelajaran bahkan jadi bingung dan susah untuk berfikir rasional. Inilah pentingnya karakter sekolah yang membina anak dalam koridor yang membangun dan benar. Sekolah harus bisa memberikan pelayanan yang tidak berat sebelah, bermartabat dan bisa menempatkan mereka pada wadah yang tepat sesuai kemajuan akhlaknya. Membina anak tidak semudah membalikkan telapak tangan karena anak adalah gambaran orangtuanya saat di masa muda. 1 juta siswa sama dengan 2 juta karakter orangtua wali yang menurun pada mereka. Butuh 100 orang tenagan konseling dalam penanganannya. 
Sekolah Dasar adalah upaya menanamkan nilai aktual demi kematangan kejiwaan di masa yang akan dilaluinya. Sekolah Menengah adalah upaya mewujudkan pola fikir peserta didik menuju arah pemikiran yang akan mencari masa depan dan wacana tentang kehidupannya kelak. Perguruan Tinggi adalah upaya untuk mewujudkan karakter dan kedewasaannya dalam pemilihan hidup seseorang yang menuju masa depannya. Jenjang yang sudah berjalan beratus tahun di Indonesia telah merubah bangsa ini ke arah yang lebih maju, melahirkan putra-putra terbaik bangsa dan tidak lupa putra putri bejat bangsa. Semua adalah produk sekolah dan ini adalah sebuah nilai kewajaran. Kembali pada hakekat hidup bahwa manusia akan kembali pada fitrohnya yaitu akan memilih jalan sesuai warna aura masing-masing walaupun sudah melewati jenjang pendidikan. Manusia akan berbentur kepada kebutuhan jasadi_nya yaitu pemenuhan kepuasan hati dan perutnya. Inilah mengapa dalam pola anak sekolah dibutuhkan sarana dan prasarana yang sangat komplit bahkan sampai pemenuhan kebutuhan akal, hati dan daya imajinasi mereka. Sebuah modal yang sangat besar yang harus dibutuhkan oleh sebuah lembaga sekolah untuk mewujudkannya. Jadi pertanyaannya apakah lembaga sekolah sudah memberikan reward yang terbaik terhadap itu semua. Apakah hak mereka sudah tercukupi selama ini ataukah hak mereka selalu dirampas percuma tanpa akal sehat dan pola asuh yang kondusif. Semua akan kembali mau dibawa kemana anak didik kita semua, anak bangsa Indonesia yang keluar dari rahim ibu pertiwi yang butuh susu segar sepanjang masa mudanya. Pendidik adalah tolak ukur kematangan psikomotorik anak secara universal, sistem sekolah dan lingkungan adalah batu loncatan menuju afeksi peserta didik yang matang dalam hidup bermasyarakat. Sehingga pertanyaannya mau dibawa kemana setiap sekolah yang didirikan?. Demi keutuhan sekolah atau demi kelangsungan masa depan siswa? Jawabnya terserah mau dibawa kemana saja.
Berdoa tentunya akan terkait dengan berusaha, berusaha akan tidak lepas dari keikhlasan, keikhlasan akan kembali kepada urusan hati dan perut. Semoga kita semua menjadi orang baik dan selamat. Baik semua urusannya dan selamat jasad dan hatinya.
ihdinash shirathal mustaqim
Penulis
Chie Zhoen




No comments:

Post a Comment

 
back to top